Artikel diterbitkan oleh Detik.com 

Foto : Dok. Detik.com

Sore itu Vino, bukan nama sebenarnya, tampak begitu gembira. Anak laki-laki berusia 8 tahun itu sangat antusias memamerkan koleksi ikan-ikan aneka warna di dalam stoples kaca. Seekor ikan cupang dengan buntut warna merah yang baru saja dibeli untuk mengisi akuarium mininya membentot perhatiannya.

“Yang ini (sambil menunjuk ikan buntut merah) harganya lima ribu, kemarin Vino beli lebih murah cuma seribu,” celoteh Vino sambil disuapi potongan buah pepaya dan mangga oleh Susan, ibunya. Selasa sore (6/8) lalu, detikX mengunjungi Vino di rumahnya yang sederhana di Tangerang, Banten.

Kini hanya ikan-ikan inilah yang setia menjadi teman bermain Vino. Dia tak bisa lagi bermain sepak bola bersama teman-teman di lapangan luas. Meskipun banyak orang kerap mengunjunginya sambil membawakan mainan mobil dan robot-robotan kesukaannya, Vino masih merasa kesepian

Hidup Vino berubah tatkala dokter memvonisnya dengan penyakit kanker neuroblastoma stadium empat. Kondisi Vino kini begitu berbeda dengan foto dirinya yang terpajang di dalam pigura kayu yang diletakkan di ruang tamu. Foto yang diambil beberapa tahun lalu itu seolah menjadi saksi bisu ketika Vino masih sehat. Tampak Vino tengah berpose sambil menaiki sepeda. Warna sepedanya senada dengan baju merah yang ia kenakan. Di situ Vino tersenyum semringah dengan kedua pipi tembemnya yang merekah.

Meski kini Vino masih tetap tersenyum ketika diajak becanda, kondisi fisiknya tak lagi sama. Kanker langka yang berkembang dari neuroblast atau sel-sel saraf anak yang belum matang ini telah menyebar ke organ lain. Akibatnya Vino tampak begitu kurus, perutnya membengkak dan terdapat benjolan di kepala. Namun bagian yang paling mencolok dan membuat Vino minder adalah mata di sebelah kanan yang tampak menonjol ke luar. Akibatnya, mata kanannya sudah tidak bisa melihat, sedangkan jarak penghilatan mata kirinya sangat kecil. Vino juga jadi enggan berjalan. Dia trauma karena sebelumnya ketika hendak berjalan, kedua kakinya terasa sangat nyeri.

Ilustrasi anak penderita kanker

“Dari pas imlekan udah nggak bisa jalan. Disentuh kesenggol aja jerit-jerit, nyeri banget. Kita serba salah megangnya,” ucap Susan menceritakan masa-masa kritis yang dialami anaknya beberapa bulan lalu.

Selama berbincang dengan detikX, Susan, tak sekali pun meneteskan air mata. Walaupun suaranya sesekali bergetar, terutama ketika mengingat masa-masa dimana anaknya tengah bergelut melawan rasa sakit yang amat menyiksa. Namun guratan di wajah dan bagian bawah kelopak mata yang menghitam sudah menggambarkan beratnya perjuangan Susan untuk meraih kesembuhan anaknya.

Musibah tersebut datang bersamaan dengan kabar bahagia. Saat itu Susan tengah mengandung anak kedua, berbarengan dengan itu pula Vino mulai menunjukan tanda-tanda penyakitnya. Mulanya, muncul benjolan di kepala Vino. Ibunya mengira Vino terbentur saat tengah bermain dan benjolannya dapat sembuh dengan sendirinya. Namun ternyata benjolan itu malah makin membesar.

 

“Muncul juga gejala lain yang bikin saya makin bingung. Badan anak saya panas, sakit semua seluruh badan. Tidur cuma setengah jam habis itu nangis terus dari pagi sampai malam. Ada 12 dokter saya temuin, semua kompak bilang demam rematik,” tutur Susan. Saat itu Vino juga sempat didiagnosa mengidap kanker darah atau leukimia.

Berbulan-bulan pontang panting mencari tahu penyakit Vino ke berbagai rumah sakit, Susan harus menelan pil pahit. Bayi yang tengah dikandungnya meninggal saat masih dalam kandungan. Susan terpaksa melahirkan normal dengan kondisi buah hatinya yang sudah tidak bernyawa.

Belum sempat pulih dari duka, Susan harus kembali menerima kenyataan anak semata wayangnya didiagnosis mengidap penyakit kanker neuroblastoma stadium empat. “Dua hari setelah melahirkan saya bela-belain naik KRL ke RS Harapan Kita. Sampai kaki saya dua-duanya bengkak. Saya tanya ‘Dokter ini Vino sebetulnya sakit apa?’” tanya Susan kepada dokter.

“Itu dokter lama jawabnya, soalnya dia mungkin khawatir saya syok, karena saya baru kehilangan adiknya. Sampai di satu titik dimana dokter itu bilang ‘Itu bu.., anak ibu kena kanker saraf’. Rasanya saya mau guling-gulingan di lantai. Nggak kuat kan, namanya saya seorang ibu, nggak mungkin kuat, baru dua hari kehilangan adiknya, ini divonis kanker stadium 4, rasanya semrawut”.

Vino yang saat itu berusia lima tahun akhirnya menjalani kemoterapi untuk pertama kalinya. Namun baru delapan kali menjalani kemoterapi, dokter telah menyatakan remisi. Istilah ini digunakan untuk pasien kanker yang sudah diterapi dan sudah dievaluasi bahwa pasien tersebut tidak mengandung sel kanker lagi di dalam tubuhnya. Susan tak berhenti mengungkapkan rasa syukurnya kepada keajaiban ini. Setelah itu Vino juga sempat menyelesaikan jenjang sekolah TK. Namun ketika mendaftar masuk sekolah dasar, penyakit itu datang lagi dengan kondisi lebih parah dari sebelumnya.

Vino segera dirujuk ke RS Kanker Dharmais, Jakarta. Dia kembali menjalani proses kemoterapi. Setelah menjalani empat kali kemoterapi, dokter ahli onkologi anak yang menanganinya angkat tangan. “Penyakitnya sudah nggak berespon terhadap obatnya. Dokter bilang sudah nggak ada jalan lain. Udah nggak bisa,” tutur Susan.

Ketika didera rasa putus asa, dokter itu mengenalkan Susan kepada Yayasan Rumah Rachel atau Rachel House. Organisasi non profit ini merupakan penyedia layanan paliatif. Sebuah layanan untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan pasien yang menderita penyakit kronis.

Sudah lebih dari tiga bulan Suster Ribka Esterina Simbolon dari Rachel House mengunjungi Vino. Dalam setiap kunjungan, Ribka selalu membawa berbagai peralatan medis untuk mengecek kondisi fisik Vino. Dia juga jadi teman bermain Vino. Sering kali Ribka berusaha mengabulkan keinginan Vino yang belum kesampaian. Dalam kunjungannya kali ini, Ribka membawa seperangkat krayon beserta buku gambar.

“Kemarin katanya Vino mau ikut lomba mewarnai tapi nggak bisa kan. Ini kakak bawain krayon sama bukunya. Jadi Vino bisa mewarnai di rumah,” ucap Ribka kepada Vino. Hubungan Ribka dan Vino kini lebih dari sekedar hubungan antara pasien dan perawat. Vino memanggil Ribka dengan panggilan Kakak.

Sembari memberikan asuhan paliatif, Ribka juga memiliki tugas berat, yaitu untuk menyampaikan kenyataan kepada Vino dan keluarga bahwa obat tidak sanggup menyembuhkan Vino. Dan untuk mempersiapkan diri kepada kemungkinan terburuk yang tak seorang pun dapat menebak kapan datangnya.

Membahas soal kematian kan sebetulnya tabu bagi orang lain, tapi itu diperlukan sama keluarganya. Memang umur di tangan Tuhan tapi secara medis kematian kita bisa tahu seperti apa, ujar Ribka. “Aku belajar ngomong soal kematian atau meninggal itu kayaknya susah banget. Setelah tiga bulan terakhir lah aku baru bisa pede ngomong soal itu ke keluarga dan pasien.”

 

Suster Ribka Esterina sedang merawat seorang anak

Ribka perawat lulusan Universitas Padjajaran, Bandung itu tahu betul, semangat bertahan hidup Vino masih tinggi. Namun ada kalanya Vino juga tak sanggup menepis rasa khawatir yang menggelayut dipikirannya. “Agung Hercules itu namanya (penyakit) apa ya? Yolablastoma ya?” ucap Vino salah mengeja Giloblastoma, istilah penyakit kanker otak. Di tengah perbincangan tiba-tiba Vino membahas tentang selebritas Agung Hercules yang belum lama ini meninggal karena kanker otak.

“Wah Vino ngikutin berita juga ya, memangnya kenapa?” tutur Ribka merespon ucapan Vino. “Vino takut,” ujar Vino sambil membenamkan wajahnya di pangkuan sang ibu yang duduk persis di sisi kanan. Tak puas dengan jawaban singkat itu, Ribka kembali bertanya. “Vino takut apa?” ucap Ribka dengan nada pelan.

Vino tidak menjawab. Mereka bertiga yang duduk melingkar seketika diam seribu bahasa. Hanya suara televisi yang melesak di tengah keheningan. Susan kembali melihat anaknya dengan tatapan nanar. Tanpa perlu mendengar jawaban Vino pun, Ribka dan ibunya sudah paham betul hal apa yang paling Vino takutkan. “Tapi Vino yakin ya pasti bisa sembuh, kita berjuang terus” ucap Susan memberi semangat.

Medis boleh menyerah dengan penyakit Vino, tapi selama menjalani perawatan paliatif, Vino tak lagi terus-terusan berbaring di kamar karena kesakitan. Dia sudah bisa duduk sembari bermain bersama Ribka di ruang tamu. Meski matanya di perban, Vino sesekali bisa berkeliling naik motor. Nafsu makan Vino pun berangsur-angsur mulai membaik. “Kalau ada ikan goreng bisa habis dua piring,” kata Susan.

Di tengah keterbatasannya itu, Susan tidak mau menyerah kepada keadaan. Selain melakukan kontrol di rumah sakit, Susan juga mencari pengobatan alternatif. Hanya saja pengobatan itu memakan biaya yang sangat besar. Semenjak berpisah dari suami, kini Susan harus berjuang sendiri untuk kebutuhan hidup dan biaya pengobatan anaknya.

Dia hanya mengandalkan keuntungan dari berjualan bubur di kantin salah satu bank di Tangerang. “Sudah dua tahun ini saya berjuang sendiri. Sekarang saya lagi pengobatan alternatif harus banyak seminggu Rp 8 juta. Berat banget memang. Tapi Tuhan masih kasih nafas, artinya Tuhan masih suruh kita buat berusaha kan, nggak mungkin kita diemin aja,” tutur Susan.

 

If you would like to help give sparks of joy to the children we care for at Rachel House, please donate to support our work.