Dibawah teriknya sinar matahari hari itu, saya dan perawat Dadan melintasi padatnya jalanan di Jakarta, untuk pergi mengunjungi seorang pasien. Kunjungan hari ini cukup menantang bagi saya, padahal sebagai HR Manager di Rachel House, saya sudah sering mengunjungi pasien Rachel House bersama tim klinis kami.

Lokasi yang kami kunjungi hari itu sangat berbeda dari biasanya. Kami mengunjungi Ari* dan keluarganya, yang tinggal di bawah kolong jembatan yang terletak sangat deket dengan rel kereta api. Saat tiba di lokasi, beberapa kali saya kaget mendengar nyaringnya suara kereta api yang tengah melintas, serta getaran yang ditimbulkan.

“Bagaimana mereka bisa tidur ya. Suara kereta lewat di malam hari pasti selalu mengagetkan.” ujar saya kepada perawat Dadan.

Saya terus mengikuti langkah Dadan yang berjalan  di depan saya. Sesekali saya menengok ke kanan dan ke kiri, mencari-cari dimana tempat tinggal anak malang itu.

Ketika tak lama kemudian kami tiba, saya terkejut melihat tempat tinggal Ari yang jauh dari kata layak. “Rumah” Ari hanyalah sepetak bidang yang ditutupi terpal sebagai atapnya. Tidak hanya sebagai tempat bernaung dari panas dan hujan, di tempat itu juga lah keluarga Ari mencari uang dengan membuka warung kecil.

“Assalamualaikum, Nek.” Perawat Dadan menyapa nenek Ari yang sedang duduk sambil mengipasi tubuhnya yang kegerahan dengan koran bekas.

“Eh, Pak, Bu, mari silahkan duduk.”

Nenek mempersilahkan saya dan Dadan untuk duduk di kursi rotan kecil yang ada disitu. Dadan memperkenalkan saya kepada Nenek, dan kemudian  memisahkan diri untuk memeriksa kondisi  Ari,meninggalkan saya berdua dengan Nenek.

Sembari Dadan sibuk memeriksa Ari, saya dan Nenek berbincang. Nenek menceritakan bahwa ia senang Ari tinggal bersamanya. Sebelumnya, Ari tinggal di sebuah panti asuhan sejak sang ibu meninggal ketika Ari baru berusia 2 tahun. Namun beberapa bulan yang lalu, pihak panti asuhan mengabari nenek bahwa mereka tidak dapat lagi merawat Ari,  karena Ari terlalu sering jatuh sakit. Karena ayah Ari tidak diketahui keberadaannya, maka Nenek adalah satu-satunya keluarga Ari yang tersisa.

“Saya senang Ari ikut dengan saya, tapi situasi kami juga sulit. Saya selalu khawatir tidak dapat merawatnya dengan baik.” Nenek menuturkan.

Nenek tinggal bersama suami dan anak bungsunya, yang memiliki gangguan mental. Tidak terbayangkan oleh saya, kehidupan yang dijalani oleh Nenek dan keluarganya, serta kekhawatiran yang setiap hari ia rasakan. Hidup bertiga dalam keadaan yang serba susah seperti ini saja sudah sangat sulit – apalagi harus merawat seorang anak yang sakit-sakitan dan memiliki imunitas tubuh yang lemah.

“Kadang kami tidak makan, karena sama sekali tidak ada uang dan makanan. Untung Ari anaknya tidak rewel. Tapi saya kasihan, lihat saja tubuhnya kurus sekali.” Saya menengok ke Ari yang sedang diperiksa oleh Dadan. Tubuh Ari terlihat sangat kurus dibalik bajunya yang kebesaran. Anak ituberusia 13 tahun, namun terlihat seperti anak berusia 6 tahun. Tidak banyak kata yang diungkapkan oleh Ari, hanya senyum malu-malu setiap kali ditanya.

“Mereka juga kesulitan air bersih, Mbak.” Ujar Dadan kepada saya.

Nenek menjelaskan bahwa mereka hanya mandi sesekali, sebab di tempat itu sangatlah sulit mendapatkan air bersih. Tidak jarang mereka harus menampung air hujan, agar bisa memiliki air untuk membasuh diri ataupun untuk bersih-bersih setelah buang air.

Tak terbayangkan bagi saya, kehidupan yang mereka jalani. Tidak hanya kesulitan untuk makan sehari-hari, namun bahkan air bersih pun sulit untuk mereka miliki.

Seraya berjalan pulang, pikiran saya melayang. Membayangkan bagaimana situasi disana ketika hujan lebat. Bagaimana mereka bisa berlindung dari hujan? Saat tempat yang mereka sebut rumah mereka hanyalah sebidang petak kecil beratapkan kainterpal. Apa yang akan terjadi jika banjir menggenangi Jakarta dan menyapu tempat mereka? Bagaimana nasib keluarga ini? Yang tidak punya apa-apa untuk melindungi diri. Siapa yang akan melindungi mereka?

Bagi sebagian besar pasien kami, yang berasa dari kelompok masyarakat yang terpinggirkan, dukungan dari Rachel House sangatlah berarti. Satu-satunya pelampung yang mereka tahu. Rachel House tidak hanya menyediakan perawatan medis, tetapi juga kebutuhan dasar lain seperti susu bernutrisi tinggi, popok sekali pakai, makanan, sampai bantuan pulsa telepon dan transportasi ke dan dari rumah sakit bila diperlukan. Rachel House pun menyediakan sembako dan bahan makanan, untuk membantu memastikan bahwa setidaknya untuk beberapa hari ke depan, pasien dan keluarganya tidak perlu khawatir apakah mereka bisa makan atau tidak.

*Nama diubah untuk privasi.

[Oleh Hapsari Dewi, HRGA Manager]

Maukah kamu ikut memberikan secercah kebahagiaan bagi anak-anak yang dirawat oleh Rachel House? Mari berdonasi untuk mendukung pelayanan kami.  Klik di sini untuk berdonasi.