Baru saja perawat Ribka melangkah masuk ke dalam rumah itu, dia langsung disambut dengan ceria oleh seorang anak laki-laki yang berjalan tertatih-tatih ke arahnya. Meski wajah anak tersebut terlihat agak pucat, senyum lebar tersungging di wajahnya.

“Hadi paling kangen sama Perawat Ribka.” Ujar nenek sambil menahan Hadi yang ingin segera menghampiri Ribka, sementara perawat ini mengenakan APD-nya dan bersiap memasuki ruang keluarga di rumah tersebut.

“Tunggu sampai aku ganti baju ya, Hadi,” Ribka membujuk bocah berusia 3 tahun itu.

“Biasanya dia tidak mau jalan sama sekali karena lututnya lemas. Tapi, pas dia lihat Perawat Ribka, jadi semangat banget jalan sampai jatuh begitu.” Ujar nenek sambil tersenyum memandang sang cucu.

Sambil menunggu Ribka selesai bersiap-siap, Hadi dengan bersemangat menunjuk ke tas yang dibawa Ribka. Dia tahu bahwa tas itu berisi anggur yang merupakan buah favoritnya. Hadi sendiri jarang makan buah, terutama anggur – karena terlalu mahal untuk dibeli oleh keluarganya.

“Aku mau itu…” katanya sambil menunjuk tas Ribka tanpa menyelesaikan kalimatnya.

Hadi kecil dan ibunya tinggal di rumah dengan satu kamar tidur, bersama kakek-nenek dan dua pamannya. Sebagai orang tua tunggal, ibu Hadi harus bekerja siang malam, tidak hanya untuk menghidupi keluarganya, tetapi juga untuk biaya pengobatan Hadi. Hal ini membuat keluarga itu hampir tidak memiliki apa-apa, apalagi untuk membeli makanan mahal seperti buah atau anggur.

Ketika berusia 3 tahun, Hadi didiagnosis mengidap retinoblastoma. Ibu Hadi sudah menyadari sebelumnya, bahwa pupil di mata kiri Hadi tampak berbeda, atau biasa disebut seperti “mata kucing”, namun keluarga itu tidak memiliki pengetahuan ataupun kemampuan finansial untuk membawa Hadi ke dokter. Setelah matanya berubah menjadi sangat merah dan Hadi muntah tanpa henti, barulah dia dibawa ke dokter untuk diperiksa. Selama 2 tahun terakhir, kemoterapi menjadi medan perjuangan bagi Hadi , dan remisi menjadi doa yang dipanjatkan oleh keluarga setiap hari.

“Yuk kita mulai pemeriksaan?” ajak Ribka kepada anak laki-laki itu, yang sudah dengan sabar menunggunya memakai APD. Hadi mengangguk dan dengan senang hati mendekati Ribka, siap untuk “bermain”.

Setelah melakukan pemeriksaan fisik secara umum, Ribka lanjut memeriksa balutan pada luka dan massa besar di mata kiri Hadi.

“Anak-anak lain sering takut diperiksa, cuma kamu anak yang paling pemberani!” Kata Ribka, sambil membersihkan abses di mata Hadi yang telah diangkat untuk menghentikan penyebaran sel kanker.

“Supaya gak sakit lagi.” Jawab Hadi dengan suara khas kanak-kanaknya.

“Wow, jadi suster bisa menghilangkan rasa sakitnya ya?” Pertanyaan Ribka dijawab dengan anggukan dan senyuman antusias oleh Hadi.

“Saya senang melihat bagaimana Hadi sekarang, apalagi sejak perawat Ribka datang ke dalam hidup kami. Dulu Hadi itu sering sekali menangis, mengeluh sakit di mata dan kepalanya. Kami semua tidak tahu bagaimana cara membantunya. Hanya bisa meratap tentang nasib buruk yang harus kami hadapi.” Mata nenek berlinang air mata saat dia berbagi pengalaman berat yang selama ini keluarga mereka alami.

Nenek adalah pengasuh utama Hadi di siang hari ketika ibu Hadi bekerja. Sering kali nenek menangis saat menceritakan ketakutan dan kekhawatirannya tentang Hadi. “Saya bersyukur Tuhan masih memberi saya waktu untuk hidup, sehingga saya bisa berada di sini untuk membantu merawat Hadi.” Ucap nenek dengan mata berkaca-kaca.

Rachel House didirikan dengan keyakinan bahwa tidak ada anak yang harus hidup atau meninggal dalam kesakitan. Hal inilah yang mendorong kami untuk memberikan layanan asuhan paliatif bagi anak-anak dengan penyakit berat seperti Hadi secara gratis. Rasa sakit dan gejala dikelola di tengah kenyamanan rumah pasien, sehingga anak-anak luar biasa ini dapat hidup dengan kualitas hidup yang optimal di sisa hari mereka.

“Saya juga berterima kasih kepada Rachel House atas dukungan transportasinya. Sekarang Hadi dan saya tidak perlu bangun jam 4 pagi supaya bisa sampai di rumah sakit tepat waktu. ”

Dulu, Hadi dan neneknya biasa naik angkutan umum ke rumah sakit. Dari rumahnya, mereka harus berganti bus sampai 4 kali untuk mencapai rumah sakit. Itu berarti mereka perlu bangun jam 4 pagi untuk bisa sampai ke rumah sakit di jam 8 pagi, saat waktu pendaftaran dibuka. Nenek harus selalu menggendong Hadi karena bocah malang itu tidak bisa berjalan jauh. Setibanya di rumah sakit, Hadi akan terus-menerus menangis karena luka di mata kirinya terasa sangat perih dan gatal akibat keringat dan debu.

“Dia sangat suka naik taksi sekarang. Katanya di dalam mobil terasa sejuk dan dingin. Hadi juga suka bilang bahwa dia lebih menyukai naik taksi daripada di rumah, karena AC membantu membuat matanya tidak gatal dan perih lagi.” Kata Nenek.

“Beneran, Hadi?” Tanya Ribka yang dijawab Hadi dengan mengangguk sambil tersenyum malu-malu.

Saat-saat seperti ini mengingatkan Ribka tentang betapa pentingnya para pasien baginya. Mengendarai mobil ber-AC mungkin merupakan hal yang biasa bagi sebagian besar dari kita. Tapi tidak untuk Hadi. Dia dipenuhi dengan sukacita dan rasa syukur atas hal-hal yang seringkali kita anggap remeh. Kemampuan Hadi untuk merayakan setiap hal kecil dengan kegembiraan meski harus menghadapi kesulitan besar menjadi sebuah pelajaran berharga bagi Ribka. Terlebih lagi, senyum manis Hadi juga selalu berhasil membuat orang-orang di sekitarnya ikut tersenyum.

Kunjungan hari itu benar-benar memberi energi bagi Ribka dan memenuhinya dengan kebahagiaan dan kegembiraan. Kelelahan yang dirasakan Ribka sebelum melaksanakan kunjungan langsung terhapus dan tergantikan dengan kenangan akan senyum manis di wajah Hadi.

*Nama diubah untuk privasi.

Maukah kamu ikut memberikan secercah kebahagiaan bagi anak-anak yang dirawat oleh Rachel House? Mari berdonasi untuk mendukung pelayanan kami.  Klik di sini untuk berdonasi.