Saudarinya mengelus rambutnya dan berbisik, “Apa kamu bisa mendengarku, Dek? Kamu lagi mimpi apa? Kamu kemana aja? Bertemu dengan siapa aja?” Tentu saja Dwen tidak menjawab. Sejak operasi terakhirnya, ia sudah tidak dapat merespon terhadap apapun. Ia terlihat sangat damai, seolah hanya sedang tertidur.
Setiap sudut rumah kami mengingatkanku pada Dwen. Dapur, dan bagaimana ia membantuku melakukan pekerjaan rumah tangga. Keranjang cucian kami, dan bagaimana ia membantuku mengambilkan baju-baju basah dari ember, kemudian memberikan kepadaku satu persatu untuk dijemur. Kursi, yang selalu aku duduki, dan bagaimana ia selalu mendekatiku lalu bertanya, “Bunda capek, ya? Mau diambilkan minum?” Mainannya, dan bagaimana ia selalu membereskannya setelah bermain. Jendela dimana aku bisa melihatnya berlari dari lapangan seberang rumah kami untuk menghampiriku sambil membawa sesuatu di tangan kecilnya, “Ini untuk Bunda.” Dan itu adalah bunga-bunga paling cantik yang pernah aku lihat. Ingatan tentangnya masih sangat jelas bagiku.
Ia terlahir sebagai bayi yang sehat – si bungsu, anak laki-laki kami satu-satunya. Ia membawa banyak sekali kebahagiaan di hidup kami. Tapi bagiku, ia lebih dari semua itu. Ia adalah cinta dalam hidupku dan aku adalah cinta pertamanya. Ia tumbuh selayaknya anak laki-laki seusianya, aktif dan ceria. Seperti tidak ada suatu kejanggalan apapun. Namun, pada bulan Agustus 2019 ketika ia berusia dua tahun, ia mulai sering muntah. Saat keadaannya tak kunjung membaik, kami membawanya ke rumah sakit. Kemudian hal yang paling menyakitkan dan mengubah hidup kami selamanya, terucap dari mulut dokter, “Ia menderita kanker otak yang disebut Medulloblastoma,“ sang dokter menjelaskan. Aku terpaku. Rasanya duniaku luluh lantak.
Setelah itu, Dwen harus melewati 3 prosedur operasi dan 30 rangkaian terapi radiasi. Sering terlintas di benakku bagaimana ia bisa menghadapi semua rasa sakit di tubuhnya, tetapi tetap bersikap baik dan lembut? Mengapa ia tidak rewel? Mengapa ia tidak mengeluh? Bahkan dalam sakitnya, ia tidak pernah gagal menebarkan keceriaan dan menunjukkan cintanya kepadaku. “Aku sayang Bunda. Aku mau bantu, ya?”
Di tengah-tengah semua itu, saat semangat kami hancur dan kami juga harus berjuang secara finansial, Tuhan membukakan jalan kepada kami melalui dukungan, pertemanan dan semangat dari Rachel House. Perawat Dadan dan tim Rachel House secara rutin mengunjungi kami, tidak hanya untuk mengecek keadaan Dwen tetapi juga untuk memberikan dukungan kepada kami berupa kebutuhan dasar seperti popok, susu dan obat-obatan. Mereka menguatkan semangat kami yang goyah selama perjalanan yang paling kelam dalam hidup kami. Aku merasa memiliki keluarga baru yang merangkul dan memandu kami melalui momen-momen kesakitan yang menakutkan dan guncangan emosi yang datang silih berganti.
Bulan Ramadhan tahun ini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Dwen harus menjalani operasinya yang ke-17; namun tidak seperti operasi yang sudah-sudah, kali ini ia tidak bangun setelah operasi seperti biasanya. Ia hanya terbaring di tempat tidur dengan kucingnya yang bergelung di kakinya. Meski demikian aku merasa sangat bersyukur, kami masih dapat merayakan Idul Fitri bersama. Kami memakaikan baju koko putih kepada Dwen dan berfoto bersama. Ia menghembuskan nafas terakhir 5 hari setelahnya.
Dwen berpulang di usia 7 tahun. Rumah kami sangat sepi tanpanya. Tidak akan ada lagi langkah-langkah kecil berlari dari seberang lapangan membawakanku bunga-bunga, dengan senyum cerah dan suara lembut berkata, “Ini untuk Bunda. Aku sayang Bunda.” Tidak ada lagi tangan kecilnya yang selalu menggenggam jemariku dan mengatakan, “Dwen kuat Bunda, Bunda jangan sedih ya.” Ia mungkin sudah tidak di sini lagi, tetapi kenangan tentangnya masih ada di hati dan pikiran kami.
Aku juga menyayangimu, malaikat kecilku. Sampai bertemu lagi.
[Ditulis berdasarkan curahan hati dari ibunda almarhum Dwen]
Maukah kamu ikut memberikan secercah kebahagiaan bagi anak-anak yang dirawat oleh Rachel House? Mari berdonasi untuk mendukung pelayanan kami. Klik di sini untuk berdonasi.