Di usianya yang baru 13 tahun, Aisyah* telah melalui jauh lebih banyak cobaan dibandingkan anak seusianya.
Aisyah tahu ia memiliki penyakit yang membuatnya berbeda dengan teman-temannya. Pertama-tama, ia harus rutin minum obat setiap hari sepanjang hidupnya. Aisyah mengidap kondisi imunosupresi berat, yang membuat tubuhnya rentan terhadap infeksi oportunistik. Salah satu infeksi tersebut pernah membuat Aisyah dirawat di rumah sakit selama 2 bulan, yang kemudian membawanya masuk ke dalam layanan Rachel House.
Sejak menerima layanan asihan paliatif dari Rachel House, dalam pendampingan yang penuh kasih dari Perawat Dadan dan pekerja kesehatan komunitas (kader) Rachel House, Ibu Riswati, kondisi Aisyah semakin membaik. Secercah kebahagian mulai terlihat di matanya.
Seiring kesehatannya yang membaik, Aisyah menemukan ketenangan di sebuah masjid dekat rumahnya. Di masjid tersebut, ia mendapatkan kesempatan untuk belajar mengaji bersama guru dan siswa lainnya. Sembari belajar membaca Al-Quran bersama teman-temannya, Aisyah seolah bisa merasakan “kehidupan normal”- sesuatu yang jarang sekali ia alami.
Aisyah yang tadinya tidak pernah berani bermimpi, untuk pertama kalinya mulai memiliki cita-cita yang ingin ia kejar. Aisyah ingin mendapatkan beasiswa ke Cairo. Cita-cita itu membuatnya semakin bersemangat setiap kali pergi ke masjid.
Di akhir tahun kemarin, Aisyah mulai merasakan ketidaknyamanan di mata sebelah kirinya yang mempengaruhi penglihatannya. Beberapa hari kemudian, mata kanannya pun mengalami gejala yang sama. Dan dengan cepat, penglihatan kedua matanya menjadi terganggu. Setelah melalui berbagai pemeriksaan medis yang panjang dan ekstensif, Aisyah akhirnya didiagnosis dengan Tuberkulosis Okular.
Gadis kecil ini harus menelan pil pahit bahwa mungkin ia tidak akan bisa melihat kembali, dan bahwa ia harus mulai belajar hidup dengan keterbatasannya. Namun meskipun mengalami kemunduran kondisi, keinginannya untuk terus belajar Al-Quran tidak berkurang. Setiap hari, Aisyah tetap pergi ke masjid untuk mendengarkan lantunan Al-Quran yang dibacakan oleh teman-temannya. Aisyah bahkan memiliki impian baru untuk menjadi seorang Hafidz (penghapal) Quran.
Tergerak oleh kecintaan putrinya terhadap Al-Quran, ibunda Aisyah mencurahkan perasaannya kepada Ibu Ris. Dari pembicaraan itu, ibu Ris pun mengetahui tentang keinginan Aisyah untuk belajar membaca huruf Braille, agar ia dapat terus membaca Al-Quran bersama guru dan teman-temannya di masjid.
Bertekad untuk menemukan cara untuk membantu, Ibu Ris menyampaikan kisah Aisyah kepada semua orang di Rachel House. “Bola” itu langsung diambil oleh Hapsari (juga dikenal sebagai “Hapi”), Manajer HRD Rachel House, yang kemudian menghubungi sepupunya yang merupakan anggota pesantren.
Ketika Ibu Ris mengantarkan Al-Quran Braille ke rumah Aisyah, ia disambut dengan air mata bahagia Aisyah. “Terima kasih Bu Ris, sudah selalu membantu aku.” Ucap Aisyah, seraya mendekap Quran didadanya.
Air mata sukacita Aisyah membawa kebahagiaan bagi kami semua. Tidak hanya bagi Bu Ris, tetapi juga bagi semua orang di Rachel House yang sangat ingin membantu Aisyah mewujudkan mimpinya.
Di Rachel House, kami tidak hanya menyediakan perawatan medis untuk pasien kami, namun kami juga berusaha membantu menjaga agar mimpi pasien kami tetap hidup. Kami sangat percaya bahwa impian setiap anak patut diperjuangkan, karena melalui mimpi-mimpi ini, semangat dan harapan dapat muncul.
*Nama diubah untuk privasi.
Maukah kamu ikut memberikan secercah kebahagiaan bagi anak-anak yang dirawat oleh Rachel House? Mari berdonasi untuk mendukung pelayanan kami. Klik di sini untuk berdonasi.