Di bawah teriknya matahari, perawat Ribka berjalan bergegas menyusuri sebuah gang kecil di salah satu pemukiman padat di Jakarta. Sebuah tas medis berisi perlengkapan perawatan pasien tersampir di bahunya, dan tas lain yang penuh berisi susu serta kebutuhan dasar lainnya untuk pasien berat menggantung di tangannya.
Seraya berjalan, Ribka menceritakan rasa khawatir yang ia rasakan terhadap pasien yang akan dikunjunginya hari itu. Ia berharap El* sedang dalam kondisi hati yang baik dan mau diperiksa olehnya. El adalah anak laki-laki berumur 9 tahun yang telah mengalami cobaan sangat besar di usianya yang masih belia. Di tahun 2017, ketika ia masih berusia 7 tahun, El didiagnosis dengan leukemia. Penyakitnya membuat anak lelaki yang tadinya periang dan murah senyum itu, berubah menjadi tertutup dan lebih emosional, terlebih saat berinteraksi dengan tenaga medis.
Saat pertama kali Ribka mengunjungi El, begitu memasuki rumah, ia dihadapkan dengan serangan kemarahan yang mengejutkan dari El. Ribka bahkan harus pergi dari rumah itu, agar ibu El bisa menenangkan anak tersebut. Baru setelah Ribka hampir tiba kembali di kantor Rachel House, ia menerima telepon dari ibu El yang memberi tahu bahwa sudah aman bagi Ribka untuk datang lagi dan memeriksa El.
Luapan emosi El cukup mengagetkan bagi Ribka. Pengalaman itu menuntun Ribka untuk melihat lebih dalam tentang masa lalu El, agar bisa memahami apa yang telah anak itu alami. Apa yang Ribka temukan membuatnya menyadari penderitaan luar biasa yang telah dialami El, yang menciptakan kecurigaan mendalam dan rasa tidak percaya terhadap tim medis. Ketika El pertama kali mengetahui tentang penyakitnya, ia masih terlalu muda untuk memahami apa yang akan terjadi di masa depan. Orang-orang di sekitarnya terus mengatakan bahwa dengan bantuan dokter dan serangkaian tes serta pengobatan, El akan pulih dan semuanya akan baik-baik saja. Itulah yang diyakini El selama beberapa tahun masa pengobatannya.
Tetapi kenyataan jauh berbeda dari gambaran yang dilukis untuknya oleh orang-orang dewasa di sekitarnya. Setelah tahun demi tahun berlalu, El masih tetap sakit dan kondisinya terus menurun. Ketika ia dirujuk ke Rachel House, prognosisnya sama sekali tidak baik. Ia memiliki luka bernanah yang besar di kaki kirinya yang menimbulkan rasa sakit hebat setiap kali ia mencoba menggerakkan kaki. Rasa sakit itu sampai membuatnya trauma, sehingga ia akan berteriak setiap kali ada orang yang berusaha mendekati luka tersebut. Juga menyebabkan ia tidak bisa berdiri atau berjalan, karena sangat takut akan merasakan kesakitan lagi. Untuk seorang anak laki-laki yang biasa bermain sepak bola dengan teman-temannya di lingkungan sekitar, ini adalah pukulan besar bagi El.
Saat Ribka mengetahui kisah El, hatinya tertuju kepada anak laki-laki kecil ini, yang mencoba melampiaskan rasa sakit dan kekecewaan yang tidak dapat ia ungkapkan. “Dalam perawatan paliatif, kita belajar tentang rasa sakit yang menyeluruh (total pain) – rasa sakit yang dialami tidak hanya dari aspek fisik, tetapi juga dari aspek emosional, psikososial, dan spiritual. El mengalami semua ini di usia yang begitu muda. Satu-satunya cara baginya untuk mengungkapkan rasa sakitnya adalah melalui luapan emosi” Ribka menjelaskan.
Setelah memahami situasi El dengan lebih baik, Ribka tahu bahwa meskipun ia harus menghadapi banyak tantangan kedepannya, ia tidak akan membiarkan dirinya berkecil hati. Pada kunjungan berikutnya, berbekal pengetahuan tentang makanan dan kegiatan favorit El, Ribka mengemas tasnya dengan makanan, krayon, serta buku mewarnai untuk El. Karena Ribka tahu dari ibu El bahwa selain sepak bola, El juga sangat suka menggambar, dan bahkan El pernah memenangkan sebuah lomba menggambar.
Seiring berjalannya waktu, rasa tidak percaya El terhadap Ribka selaku tenaga medis perlahan mencair. Meski terkadang El masih bersikap dingin padanya, namun El sudah mulai mau melakukan kontak mata dengan Ribka. Dan jika kondisi hatinya baik, dia bahkan mau menjawab pertanyaan Ribka dengan anggukan atau jawaban singkat. Setelah kunjungan ketiga, sebuah terobosan luar biasa terjadi – El akhirnya mengizinkan Ribka membersihkan luka di kakinya dan mengganti balutan lukanya! Menurut Ribka, ini adalah langkah yang sangat besar dalam hubungan mereka.
Memberikan asuhan untuk El telah mengajari Ribka banyak pelajaran berharga, termasuk menyoroti bagaimana pandemi, dengan keharusan bagi tenaga medis untuk menggunakan masker dan APD dalam merawat pasien, telah menciptakan penghalang fisik antara dirinya dan pasien. Sebelum pandemi, Ribka pergi mengunjungi rumah pasien sebagai bagian dari keluarga, dengan mengenakan pakaian sehari-hari. Sekarang, dengan mengenakan pakaian pelindung, ia diidentifikasi oleh para pasien anak sebagai seorang profesional medis, dan kemudian menyebabkan anak-anak itu merasa tertekan dan penuh kesakitan.
Namun, di tengah pandemi yang membatasi kemampuan pasien untuk mengakses perawatan di rumah sakit, Ribka tahu bahwa kehadirannya semakin dibutuhkan sekarang; ia perlu menjalankan perannya sebagai advokat pasien untuk memastikan agar pasien mendapatkan obat dan opioid yang mereka butuhkan, serta mengedukasi orang tua pasien untuk memberikan perawatan yang dibutuhkan anak-anak tersebut di rumah – sama seperti saat Ribka membantu membimbing ibu El dalam merawat, membersihkan dan membalut luka di kaki El.
Setelah dua bulan mendapatkan asuhan penuh kasih sayang dan perhatian dari Ribka, luka di kaki El akhirnya sembuh dengan baik. Hal itu memberikan kepercayaan diri bagi El untuk mulai meluruskan kakinya. Bahkan sekarang ia mulai mencoba untuk berdiri!
“Terima kasih karena tidak menyerah pada putra kami, dan mencoba untuk memahami amarahnya,” ucap ibu El kepada Ribka sambil menghela nafas penuh rasa syukur dan lega. “Kehadiran perawat Ribka telah menjadi berkah bagi keluarga kami. Sekarang kami tidak hanya memiliki orang untuk dihubungi ketika El membutuhkan bantuan, tetapi perawat Ribka juga telah memberi keluarga kami pilar untuk bersandar – bahkan ketika kami bingung bagaimana dapat menghidupi diri secara finansial dengan semua pengeluaran ini. ” Tambah ibu El, merujuk pada kesulitan keuangan yang ditimbulkan pandemi pada keluarga mereka, terlebih karena mereka telah menghabiskan harta benda mereka untuk pengobatan El.
Bagi Ribka, El telah memberinya pelajaran yang tak ternilai – bahwa agar dapat memberikan perawatan terbaik bagi pasien, pertama-tama ia harus mencoba memahami mereka sebagai pribadi yang utuh, dengan semua rasa sakit yang mereka alami. Memahami El, bukan hanya dari gejala fisiknya, tapi juga rasa sakit emosional yang dialami akibat trauma, kekecewaan dan hilangnya masa kecilnya. “Saya mungkin tidak bisa menyembuhkan trauma El, tapi saya bisa berjanji untuk menjadi temannya, serta menemani dia dan keluarganya dalam melewati perjalanan menantang kedepannya.”
*Nama diubah untuk privasi.
Jika kamu ingin memberikan secercah kebahagiaan bagi anak-anak yang dirawat oleh Rachel House, mari berdonasi untuk mendukung pelayanan kami. Klik di sini untuk berdonasi.