Di masa pandemi ini, pembatasan dalam bepergian telah mengubah banyak hal dalam hidup kita secara dramatis. Namun bagi Aldi, yang tubuhnya telah dirusak oleh kanker, dan sangat ingin bertemu dengan sang ayah sebelum waktunya habis – bagaimana kita dapat mengabulkan keinginan terakhirnya? Dibutuhkan gotong royong, hati yang luar biasa, dan seseorang yang tanpa pamrih.

Saya pertama kali bertemu Aldi* di awal bulan Maret 2020, ketika mendampingi  Dadan, perawat Rachel House yang bertugas memberi layanan asuhan paliatif kepadanya. Sebelum kunjungan perawatan, Dadan telah menjelaskan kepada saya tentang diagnosa Aldi; bahwa ia menderita kanker nasofaring (atau kanker hidung) sejak 2017. Kanker itu telah menyebar (bermetastasis) ke jaringan yang menutupi otak dan sumsum tulang belakangnya (leptomeninges). Saya diberitahu bahwa Aldi dirujuk ke Rachel House untuk membantu mengelola gejala-gejala kompleks yang ia alami di rumah.

Saya harus mengakui bahwa saya sama sekali tidak siap dengan apa yang akan saya temui ketika kami memasuki rumah kontrakan paman Aldi. Aldi dan ibunya menumpang tinggal disana sejak mereka datang ke Jakarta untuk mencari pengobatan bagi Aldi. Ayah dan saudara Aldi tetap tinggal di kampung halaman mereka di Kabupaten Lebak di Banten – yang berjarak sekitar 140 km dari Jakarta.

Aldi berusia 17 tahun. Tiga tahun lebih muda dari anak saya. Saya bisa melihat betapa ia sangat lemah dan hanya bisa berbaring di tempat tidur. Ketika Dadan berbicara kepada ibunya, saya bisa melihat mata Aldi terbuka dari waktu ke waktu. Napasnya terengah-engah, dibantu dengan selang oksigen. Ibunya memberi tahu kami bahwa Aldi tidak dapat membuka mulut tanpa merasa sakit, dan metastasis kanker ke sumsum tulang belakangnya telah menyebabkan kelumpuhan pada bagian bawah tubuh dan kakinya.

Kami bertanya tentang keinginan dan impian Aldi. Menurut ibunya, Aldi tengah gamang di antara keinginan untuk pulang dan bertemu ayah serta saudaranya, dan tekad untuk terus berjuang agar bisa sembuh. Saya ingat meninggalkan rumah mereka hari itu dengan hati yang berat oleh kesedihan.

Sepanjang minggu-minggu berikutnya, saya melihat bagaimana Dadan mengembangkan hubungan yang indah dengan Aldi. Sebuah ikatan yang dibangun dengan seorang anak muda yang sangat merindukan ayahnya. Perlahan, Aldi mulai menyuarakan kerinduannya untuk pulang ke kampung halaman. Awalnya, itu hanya pemikiran sambil lalu; tetapi seiring berjalannya waktu, kata-katanya terasa semakin mendesak.

 

Dadan dan saya mendiskusikan hal ini di kantor Rachel House. Ditengah kondisi pandemi COVID-19 dan semakin banyaknya pembatasan terhadap ruang gerak bagi penduduk, kami menyadari bahwa waktu tidak berada di pihak kami. Dan waktu pun terus berjalan menuju akhir bagi Aldi, perlahan namun pasti. Kami menghubungi banyak jasa ambulans dan perusahaan transportasi, sampai teman dan kerabat yang memiliki mobil – menanyakan apakah ada yang bersedia mengantar Aldi pulang. Ketika penolakan terus berdatangan, kami menyadari besarnya tantangan yang tengah kami hadapi. Berpacu melawan waktu menjadi satu-satunya yang ada  di pikiran kami.

Saya tidak bisa melupakan keinginan Aldi, yang sebenarnya sederhana namun sulit untuk dicapai, dari pikiran saya; rasanya seperti ada batu karang besar di hati saya.  Ketika pulang ke rumah, saya bercerita kepada suami saya tentang Aldi dan keinginannya untuk pulang bertemu dengan ayah dan saudaranya. Saya terkejut ketika suami saya langsung merespon “Saya bisa mengantarnya – jika ada yang bisa membantu membeli bensin.”

Tanpa berhenti untuk menghela napas, cepat-cepat saya menelepon Dadan untuk memberitahu tentang solusi ini. Dalam beberapa jam saja, kami mendapat donasi untuk pembelian bensin, dan segera memberitahu Aldi serta ibunya. Dadan dan saya bergegas menuju tempat tinggal Aldi. Setibanya disana, saya terkejut melihat senyum yang merekah di wajah Aldi. Senyum pertamanya yang pernah saya lihat. Hadiah yang sangat berharga.

Dadan telah menyiapkan sebuah tas berisi obat-obatan yang mungkin dibutuhkan Aldi dalam perjalanannya yang panjang untuk pulang, serta sesampainya ia di kampung halaman. Saya juga telah menyiapkan makanan dan minuman untuk selama mereka di mobil. Keesokan harinya, saat matahari baru saja muncul di ufuk timur, Dadan dan saya mengucapkan selamat tinggal kepada Aldi dan ibunya. Ada rasa yang bercampuraduk di hati saya. Saya sadar, kami tidak akan bertemu lagi.

Aldi berhasil tiba di rumahnya di Lebak, Banten, dengan selamat. Dia menghabiskan 2 hari yang indah bersama dengan ayah dan saudaranya. Di pagi hari ketiga, ia berpulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa.

*Nama diubah untuk privasi.

[Oleh Riswati, kader Rachel House]

 

Maukah kamu ikut memberikan secercah kebahagiaan bagi anak-anak yang dirawat oleh Rachel House? Mari berdonasi untuk mendukung pelayanan kami.  Klik di sini untuk berdonasi.