Artikel diterbitkan oleh www.kumparan.com

“Kenapa harus aku, Tuhan? Aku kan anak baik. Kenapa aku? Yang lain kan banyak. Kenapa aku yang harus sakit leukemia? Aku kan masih mau sekolah,” protes Meriel pada Tuhan.

Dia marah pada Tuhan karena memilih mengujinya dengan penyakit seberat leukemia–kanker darah.
Meriel dan orang tuanya (Foto: Dokumen keluarga Meriel)

Namanya Meriel Ambrosine. Dia terkena kanker darah di usia belia, saat beranjak 12 tahun.

Padahal selama ini Meriel terlihat baik-baik saja. “Enggak pernah sakit, paling demam biasa,” kata Lenah, ibunda Meriel, saat bercerita di rumahnya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (1/11).

Pada satu pagi di awal kelas 6 SD, Meriel tak seperti biasanya. Lenah langsung merasa ada yang aneh pada putrinya. Wajah Meriel amat pucat. Dia terlihat lemas dan tak bersemangat. Padahal, Meriel amat suka dan bersemangat tiap mau berangkat sekolah.

“Anaknya sih bilang ‘Aku enggak apa-apa kok, Mah.’ Tapi kan mamahnya yang khawatir,” kata Lenah.

Alih-alih berangkat ke sekolah, Meriel dibawa Lenah ke rumah sakit. Sesampainya di RS, dokter mengatakan Meriel menderita anemia (kurang darah merah) dan harus menerima transfusi darah cukup banyak.

Setelah menerima beberapa kantung darah, kondisi Meriel saat itu mulai membaik. Tapi, tiga minggu berselang, Meriel kembali drop.

Lenah dengan panik segera membawa putri pertamanya itu ke rumah sakit. Meriel kembali menjadi penghuni ranjang Rumah Sakit Husada.

Setelah menjalani pemeriksaan dan tes laboratorium, Meriel jelas tak sehat. Kondisinya dirasa aneh oleh dokter. Sel darah merah Meriel hancur, padahal biasanya sel darah merah berbentuk kepingan-kepingan.

Kondisi tersebut membuat dokter menyarankan Lenah untuk mengecek darah Meriel di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Ia menduga ada dua kemungkinan penyakit yang diderita Meriel.

Pertama, talasemia, yakni penyakit kelainan pada darah yang ditandai oleh sel darah merah yang abnormal–biasanya karena turunan. Kedua–yang terburuk, leukemia atau kanker darah, yaitu penyakit akut karena tipe leukosit (sel darah putih) yang tak matang dan berkembang biak ganas ke seluruh bagian tubuh.

Dihadapkan pada dua kemungkinan buruk, Lenah menunggu hasil tes darah putrinya dengan gelisah. “Saya berharap yang terbaik, tapi juga bersiap untuk yang terburuk.”

Lenah, Ibu Meriel bocah pengidap kanker darah. (Foto: Ridho Robby/kumparan)

Hasil cek lab akhirnya keluar, dan benarlah firasat Lenah untuk mempersiapkan yang terburuk. Meriel positif mengidap leukemia jenis langka.

Ada 4 jenis leukemia, yakni leukemia akut limfoblastik (ALL)–kanker darah yang memengaruhi sel-sel darah putih, leukemia mieloid akut (AML)–kanker darah dengan sel-sel darah putih yang belum matang dalam jumlah berlebih, leukemia limfositik kronis (CLL)–kanker darah dan sumsum tulang, dan leukemia mieloid kronis (CML).

Yang mencengangkan, Meriel positif mengidap leukemia jenis ALL, AML, dan Mixed. Tak cuma satu jenis!

Maka Lenah dengan panik meminta RSCM untuk segera memberikan pengobatan kepada Meriel. Tetapi rumah sakit umum sekelas RSCM tak pernah sepi pengunjung, sehingga Meriel harus mengantre kurang lebih sebulan.

Selama waktu tunggu itu, Lenah terpaksa membawa Meriel kembali ke rumah, tanpa tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Hingga kondisi Meriel setiap jam merosot drastis, dan akhirnya drop.

Lenah langsung membawa Meriel ke Rumah Sakit Husada lagi. “Saya minta Meriel ditransfusi darah, supaya enggak drop banget,” ujarnya menceritakan masa-masa menyakitkan itu.

Sampai sekarang, Lenah menahan sedih bila mengingatnya. Suara Lenah bergetar, dan hidungnya tersumbat menahan tangis.

“Dokter di Husada bilang, ‘Anak Ibu harus diobati ke ahli kanker secepatnya.’ Tapi bagaimana, di Cipto harus nunggu sebulan,” kata Lena.

Merasa RSCM sudah tidak memungkinkan, Lenah dengan nekat membawa Meriel ke Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk (PIK) yang notabene terkenal mahal.

Di PIK, Meriel ditangani oleh ahli onkologi anak, dr. Johanes Bondan Lukito. Dokter Bondan meminta cek darah ulang, karena ingin benar-benar memastikan jenis penyakit Meriel.

Tak tanggung-tanggung, Meriel diminta cek darah ke rumah sakit di Singapura dengan biaya 4.000 dolar Singapura atau setara dengan Rp 39 juta rupiah.

“Dokter tidak mau salah (diagnosis). Misalnya, yang sakit kepala, yang diobatin perut. Jadi harus jelas,” tutur Lenah.

Lenah paham semua itu untuk kebaikan Meriel. Hanya saja, “Biaya sebesar itu saya dapat dari mana. Yang terpikirkan oleh saya saat itu cuma jual rumah.”

Namun, Lenah menyadari menjual rumah bukan perkara mudah yang bisa dilakukan saat itu juga. Ibu dua anak itu akhirnya memberanikan diri meminta kepada dokter untuk mengurangi beberapa tes, agar biaya berkurang.

“Saya sudah enggak punya muka lagi deh. Demi anak apapun saya lakuin,” kata Lenah.

Dokter Bondan kemudian berbaik hati membantu Lenah memohonkan keringanan biaya ke rumah sakit di Singapura.

“Dokter Bondan nyurati Prof Allen di Singapura. Saya bersyukur dapet keringanan 2.000 dolar,” kata Lenah.

Bagaimana dengan 2.000 dolar Singapura sisanya? Lenah bahkan diberi pinjaman uang oleh Dokter Bondan!

Maka, berkat uluran tangan Dokter Bondan, keteguhan hati Lenah, dan kekuatan Meriel menjalani kemoterapi, akhirnya sang putri berpipi tembem itu berhasil survive dari leukemia.

Meski masih dalam proses pemulihan, Meriel terhitung sehat. Ia mulai menata kembali hidupnya setelah setahun penuh melakukan pengobatan. Meriel kemudian memutuskan untuk kembali ke sekolah.

“Pokoknya aku mau masuk SMP. Aku enggak mau dong sekelas sama Dedek,” kata Meriel kepada Lenah waktu itu.

Walau setahun tak mengikuti pelajaran di sekolah, Meriel dengan percaya diri berangkat ujian paket A setara Sekolah Dasar.

Remaja perempuan berkepala plontos itu akhirnya berhasil lulus ujian paket A dan bersekolah di SMP Kanaan Kemayoran.

Meriel bergabung dengan tim paduan suara dan teater, juga berani ikut kegiatan retret ke Cibodas. Kehidupan normalnya perlahan kembali.
Meriel bersama teman-teman SMP (Foto: Dokumen keluarga Meriel)

Tapi, tepat satu tahun setelah Meriel masuk SMP, kanker kembali datang dan bersarang di tubuhnya. Kali ini bahkan sungguh-sungguh menggerogoti Meriel.

September 2015, Meriel mula-mula merasa pandangan matanya mulai kabur. “Mah, kok mata mulai kabur. Kayaknya gelap ya yang kanan,” kata Lenah menirukan ucapan Meriel.

Penglihatan samar Meriel lalu memburuk. Ia malah jadi tak bisa melihat sama sekali. Gelap.

Lenah buru-buru membawa Meriel ke Dokter Bondan lagi. Meriel menjalani pengecekan sumsum tulang belakang, dan dokter mengatakan keluhan terbaru Meriel bukan berasal dari kanker. Ia disarankan berobat ke dokter mata.

Dokter mata di Jakarta Eye Center mengatakan Meriel menderita glaukoma karena ada tekanan di dalam mata. Ia disarankan segera operasi.

Glaukoma merupakan jenis gangguan penglihatan yang ditandai dengan kerusakan pada saraf optik, biasanya diakibatkan adanya tekanan di dalam mata.

Tak berlama-lama, Lenah mengambil keputusan untuk membawa Meriel operasi glaukoma. Operasi berjalan lancar, namun penglihatan Meriel sama sekali tak membaik.

Pendengaran Meriel bahkan mulai terganggu. Lenah jadi mondar-mandir dari ruamah sakit satu ke rumah sakit yang lain, dari dokter mata ke dokter THT (telinga hidung tenggorokan).

Meriel menjalani perawatan. (Foto: Dokumen keluarga Meriel)

Dokter THT menyarankan Lenah untuk mengecek ulang sel kanker Meriel secara menyeluruh. Usai pengecekan, diketahui terdapat sel kanker aktif di kepala Meriel. Sel ganas itulah yang menekan sel saraf mata dan pendengaran Meriel.

Lenah hendak menyerahkan Meriel untuk diobati Dokter Bondan lagi, karena sebelumnya Meriel berhasil survive dari leukemia di bawah penanganan sang dokter.

“Saya menaruh harapan. Saya tanya, berapa lama Meriel harus kemoterapi? Apa dia akan bisa melihat dan mendengar lagi? Berapa persen kemungkinannya?” ujar Lena memberondong Dokter Bondang dengan deretan pertanyaan.
Dokter Bondan menjawab, “Hanya ada secercah harapan” bagi Meriel untuk sembuh.
Meriel sendiri menolak melakukan kemoterapi karena itu menyakitkan. Akhirnya, setelah menimbang ini itu, Lenah dengan lunglai memutuskan untuk membawa Meriel pulang
“Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan setelah itu,” kata Lenah, tersendat.

Dilanda kebingungan, Lenah hanya mampu menggantungkan harapan pada Tuhan. Sementara ayah Meriel, teman hidup Lenah, pada saat yang sama terbaring di rumah sakit karena stroke.

Doa Meriel (Foto: Joseph Pradipta/kumparan)

“Kami saling menguatkan bersama. Saya mengajari Meriel untuk selalu menggantungkan iman kepada Tuhan,” tutur Lenah, yang saat bercerita didampingi suaminya–yang tak henti menangis mengingat Meriel.

Dalam situasi bingung, Lenah bertemu komunitas Sahabat Orang Sakit. SOS bertamu dan mengajak Meriel bermain, juga menyarankan Lenah untuk bertemu Dokter Edi Tehuteru, ahli onkologi anak di Rumah Sakit Kanker Dharmais.

Meriel sempat marah ketika mendengar ibunya hendak menemui dokter. Ia mengira akan dipaksa menjalani kemoterapi lagi. Namun, Lenah menjelaskan, ia hanya mau berkonsultasi dengan dokter.

Kepada Lenah, Dokter Edi menyarankan Meriel diberi perawatan paliatif. Dia juga langsung menghubungi Yayasan Rumah Rachel (Rachel House) sebagai penyedia layanan paliatif.

Paliatif bermakna “mengurangi penderitaan atau mengurangi rasa sakit.” Perawatan paliatif bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dalam menghadapi penyakitnya, tanpa merasa tertekan secara fisik maupun psikis.

Melalui Dokter Edi, pada 18 Maret 2016 Lenah dan Meriel dipertemukan dengan Suster Rina Wahyuni, suster kepala di Rachel House.

“Waktu pertama kali bertemu, benjolan di mata Meriel cukup parah. Dia juga tidak bisa mendengar sama sekali,” tutur Rina.

Suster Rina memperkenalkan diri kepada Meriel dengan cara menuliskan namanya di telapak tangan Meriel–huruf per huruf. Dengan cara itu pula, pelan-pelan mereka berdua bisa saling berkomunikasi lancar.
Suster Rina Wahyuni (Foto: Ridho Robby/kumparan)

Tiap minggu, Suster Rina mengunjungi Meriel untuk memastikan dia tak mengalami nyeri. Dan sedikitnya dua kali dalam sebulan, ia membawa serta kawan-kawan relawan Rachel House berkunjung ke rumah Meriel untuk bermain bersama.

Hubungan keluarga Meriel dan Suster Rina menjadi begitu dekat, lebih dari sekadar suster dan pasiennya.

Selama menjalani perawatan paliatif, Meriel pun terlihat lebih cerah dan bahagia. “Dia selalu menunggu kedatangan Suster Rina,” ujar Lenah.

Beberapa bulan menjalani perawatan paliatif, benjolan di mata Meriel mulai mengempes. Ia juga perlahan bisa mendengar. Ini adalah buah dari rasa bahagia yang dirasa Meriel selama memperoleh perawatan paliatif.

“Itu mukjizat. Saya berkata pada Meriel, hati yang gembira adalah obat mujarab,” kata Lenah, mengenang.

Perawatan paliatif memang menomorsatukan kebahagiaan pasien. Satu per satu permintaan Meriel dikabulkan–membuat kue, punya kotak musik, atau sekadar jalan-jalan ke mal seperti anak-anak lain.

Mengabulkan itu semua cukup mudah. Justru tugas tersulit Suster Rina adalah memberi tahu fakta-fakta menyakitkan yang wajib diketahui keluarga Meriel–bahwa obat sudah tidak mempan menyembuhkan Meriel, dan akan ada satu titik di mana Meriel tak mampu lagi bertahan, sehingga Lenah harus siap kapanpun itu terjadi.
Meriel menggengam tangan mamanya (Foto: Dokumen Lenah Joseph Pradipta/kumparan)

Enam bulan Meriel mendapat perawatan paliatif dari Rachel House, hingga akhirnya ia tiba di pengujung kisah.

Kamis malam di bulan September 2016 menjadi petang terakhir Lenah berbincang dengan putri sulungnya. Momen itu terekam kuat di benak Lenah.

“Meriel menggenggam tangan saya erat banget. Dia bilang, ‘Meriel enggak apa-apa. Maafin Meriel ya, Mamah jadi capek ngurusin Meriel. Maaf ya udah repotin, Mamah jadi enggak bisa ke mana-mana.’ Begitu kata dia, “ tutur Lenah.

Keesokannya, Jumat dini hari, napas Meriel tersendat-sendat. Lenah segera mencari ambulans dan membawa Meriel ke rumah sakit. Setibanya di RS, Meriel sudah tiada. Ia pergi cepat tanpa keluhan.
Rest in peace, Meriel (Foto: Dokumen keluarga Meriel)

Perjuangan Lenah membantu Meriel melawan kanker telah mencapai garis finis. Pada akhirnya, tak ada yang menang ataupun kalah, karena Meriel memilih berdamai dengan kankernya–menjalani akhir hidupnya dengan bahagia, dan memilih menggunakan keyakinannya pada Tuhan sebagai pasokan utama kekuatannya.

Lenah dan Meriel menunjukkan, siapapun bisa menghitung mundur waktu hidupnya sembari belajar berlapang dada.

Hingga kini, Lenah berterima kasih kepada SOS, Dokter Edi, dan Rachel House yang memperkenalkan perawatan paliatif kepada dia–dan dengan demikian membuat Meriel, putrinya, dapat berbahagia menyambut maut.

“Mereka dikirim Tuhan untuk membantu saya,” ucap Lenah, tulus.
Meriel sebelum diagnosa kanker. (Foto: Dokumen keluarga Meriel)

 

Maukah kamu ikut memberikan secercah kebahagiaan bagi anak-anak yang dirawat oleh Rachel House? Mari berdonasi untuk mendukung pelayanan kami.  Klik di sini untuk berdonasi.

 

0 Comments

Leave your comment