Tahun 2004. Bayi laki-laki itu lahir dan terlihat normal seperti bayi pada umumnya. Dinamai Rei, bayi itu adalah satu-satunya sumber kebahagiaan dan harapan sang ibu, setelah putra pertamanya meninggal ketika baru berusia 2 tahun, dan kemudian ia mengalami keguguran saat kehamilan keduanya berusia 5 minggu. Suaminya meninggalkannya ketika Rei berusia 3 bulan di dalam kandungan, dan kemudian menceraikannya 2 bulan setelah Rei lahir. Sekarang hanya tinggal mereka berdua, ibu dan anak, hidup di sebuah rumah petak yang disewakan oleh kakak sang ibu, di salah satu daerah terpinggirkan di Jakarta. Tanpa pekerjaan ataupun uang, ibu itu menguatkan diri untuk menyambung,hidup dari hari ke hari, dengan bergantung pada kebaikan dan makanan yang diberikan oleh tetangga sekitarnya. Tidak jarang, ia harus berpuasa. “Asal Rei punya sesuatu untuk dimakan,” ujarnya seraya tersenyum.
Saat masih kecil, Rei terlihat sedikit lebih pendek dibanding anak-anak seusianya. Kakinya tampak kecil, tetapi kepalanya agak besar, dan ia memiliki wajah seperti orang dewasa. Ia tumbuh dengan sedikit aktivitas karena terlalu lemah untuk berjalan. Ia banyak berbaring sepanjang hari dan mendengkur ketika tidur. Saat itu, sang ibu berpikir itu hal yang normal terjadi pada anak laki-laki berperawakan gemuk seperti Rei.
Tahun 2018. Rei tidak bereaksi seperti dulu lagi. Ia mulai kehilangan pendengaran dan kemampuannya berbicara. Sang ibu menyadari pasti ada yang tidak beres, dan memutuskan untuk memeriksakan Rei ke rumah sakit. Hasil pemeriksaan membuatnya sangat sedih. Rei didiagnosis memiliki kelainan genetik langka yang disebut Mucopolysaccharidosis tipe II (MPS II). Penyakit ini disebabkan oleh enzim yang hilang atau tidak berfungsi. Harapan hidup Rei hanya sekitar 10 hingga 20 tahun, dan selama penyakit berkembang, pasien akan mengalami kerusakan permanen dan progresif yang mempengaruhi penampilan, perkembangan mental, fungsi organ, serta kemampuan fisiknya. Meski tidak bisa disembuhkan, dokter menyarankan agar Rei menjalani terapi enzim untuk mempertahankan kesehatannya. Namun terapi enzim tidak ditanggung oleh BPJS (skema asuransi nasional), dan ketidakmampuan ekonomi membuat sang ibu tidak dapat memberikan terapi tersebut.
Bulan Oktober 2020. Rei tidak bisa bernapas. Sang ibu membawanya ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (rumah sakit rujukan nasional) dan Rei kemudian harus menjalani operasi untuk membuka saluran pernapasannya. Ternyata amandel Rei membesar dan menghalangi jalan napas. Sejak saat itu, tiap kali pergi ke rumah sakit, sang ibu harus membawa tangki oksigen untuk memastikan kenyamanan Rei. Semua itu dilakukannya sendirian. Dan menimbang virus COVID-19 terus mengintai serta menjadi ancaman, kunjungan-kunjungan ke rumah sakit ini menjadi lebih membahayakan.
“Satu dua kali ada perasaan benar-benar ingin menyerah dan mengakhiri semua ini. Melakukan semuanya sendiri benar-benar melelahkan. Namun kemudian saya berpikir, siapa yang akan menjaga Rei jika saya tidak ada?” Ia tersenyum sedih, namun matanya dipenuhi tekad, sambil terus menyedot dahak di tenggorokan putranya untuk membersihkan jalan napas anak itu. Ibu Rei melakukannya siang dan malam. Bangun setiap jam 2 pagi untuk melakukan proses ini telah menjadi kebiasaan rutinnya untuk memastikan agar Rei dapat bernapas dengan mudah. Ia sama sekali tidak keberatan. “Suara dengkuran Rei sekarang seperti musik di telinga saya. Saya tidak bisa tidur tanpa mendengarnya,” ujarnya dengan tersenyum sambil mengusap lembut wajah putranya. Ia bersyukur bisa memiliki kebersamaan selama 16 tahun dengan putranya.
Perawat Rachel House secara rutin berkunjung ke rumah Rei, tidak hanya untuk memberikan asuhan paliatif secara bebas biaya dan membawa kebutuhan sehari-hari untuk Rei, tetapi juga untuk membantu dan mendukung Ibu Rei, agar mereka tidak harus melalui perjalanan yang sulit ini sendirian. Kehadiran perawat kami membuat Rei dan sang ibu merasa lebih nyaman. Rachel House menyadari bahwa banyak anak dengan penyakit mematikan, terutama dari kelompok masyarakat yang terpinggirkan, seringkali meninggal tanpa terdengar, terlihat, ataupun mendapat perhatian. Oleh karena itu, Rachel House bertujuan untuk mengupayakan yang terbaik agar anak-anak ini dapat terbebas dari rasa sakit dan merasakan kebahagiaan di sisa hidup mereka.
Sekarang, karena kondisi Rei memburuk, ia sudah tidak lagi dapat melihat, mendengar, ataupun berbicara. Ia hanya bisa sesekali mengeluarkan suara lemah untuk menunjukkan bahwa ia sedang kesakitan. Rei tahu ibunya ada di sana siang dan malam, merawatnya, mencoba menenangkannya. Ia bisa merasakan cintanya.
*Nama diubah untuk privasi.
Jika kamu ingin memberikan secercah kebahagiaan bagi anak-anak yang dirawat oleh Rachel House, mari berdonasi untuk mendukung pelayanan kami. Klik di sini untuk berdonasi.