Artikel ini telah diterbitkan oleh https://hellosehat.com. 

Berbuat baik kepada sesama bukan hanya memiliki manfaat kepada orang yang terbantu. Perbuatan baik ternyata dapat mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kebahagiaan. Itulah yang terjadi pada perawat di rumah perawatan paliatif anak Rachel House.

Perawat rumah paliatif anak bahagia membantu orang lain

Albert Schweitzer, dokter yang juga seorang filsuf peraih nobel perdamaian mengatakan “Tujuan hidup manusia adalah untuk melayani dan menunjukkan belas kasih serta keinginan untuk membantu orang lain.”

Begitu juga yang dialami Rina Wahyuni. Seorang perawat di rumah paliatif anak Rachel House yang menjalani hari-harinya membantu anak-anak pengidap HIV/AIDS dan kanker. Ia bahagia dengan pekerjaannya bukan karena pekerjaannya ringan atau menghasilkan banyak uang. Tapi karena ia bisa sedikit meringankan beban mereka yang sedang kesakitan. Sedikit membahagiakan pasien dengan perawatan paliatif.

Mendedikasikan diri pada dunia perawatan paliatif anak sudah seperti sudah mendarah daging untuk Rina. 13 Tahun Rina menjadi perawat asuhan paliatif, sempat berhenti selama setahun. Rina kembali karena rindu pada pekerjaan yang membuatnya sedih, bahagia, dan terharu setiap saat.

Kamis (13/2) Rina melakukan kunjungan rutin ke rumah salah satu pasiennya di Jakarta Utara. Pasien ciliknya seorang bocah 9 tahun dengan kanker darah yang sudah tidak bisa diobati.

Rina mengucap salam dan membuka pintu rumah, senyum tersungging di wajah sang pasien. Ia langsung mengadukan perkembangannya sendiri ke Rina.

Anak itu menunjuk tempatnya duduk, kasur yang berada di sampingnya, dan menunjuk ke teras rumah. Melihat tersebut Rina langsung mengkonfirmasi informasi dari sang pasien. “Benar sudah bisa itu?” tanya Rina ke si Ibu, dijawab anggukan dan raut bahagia.

Sang pasien barusan memberi tahu Rina kalau dia sudah bisa berpindah sendiri dari tempatnya duduk, naik ke kasur, dan ke teras rumah. Anak itu selama setahun terakhir sudah tidak bisa berjalan. Kakinya lumpuh karena sel kanker sudah menjalar ke ginjal dan ke sumsum tulang belakang.

Kemampuannya untuk ngesot membawa tubuhnya bergerak adalah perkembangan yang signifikan dari perawatan paliatif yang diterima dari Rina.

Pasien tersebut tuli sejak lahir. Ia juga belum sempat menyelesaikan sekolah luar biasanya karena terhambat oleh kanker. Komunikasi pun sulit. Maka itu Rina harus mendorong dirinya lebih kreatif, menciptakan isyarat sendiri dan mengajarkannya kepada sang pasien dengan sabar.

Misalnya isyarat untuk mengungkapkan skala rasa sakit, Rina menekuk separuh jari telunjuk untuk isyarat sakit, lalu sang pasien diminta memilih antara 1-5 untuk mengukur skala sakitnya.

Menyebarkan kasih sayang lewat Perawatan Paliatif

Sehari-hari Rina bertugas merawat anak-anak dengan kanker yang sudah dalam masa terminal, di mana pengobatan untuk penyembuhan sudah tidak bisa lagi dilakukan. Atau pasien anak dengan HIV/Aids yang sampai saat ini belum bisa diobati.

Anak-anak ini dirujuk oleh dokter untuk mendapatkan perawatan paliatif dari Rachel Housel. Jadi saat penyakitnya sudah dinyatakan tidak bisa dihilangkan, maka perawatan sepenuhnya beralih ke perawatan paliatif homecare.

Jangan salah kira, perawatan paliatif bukan hanya untuk mereka yang penyakitnya sudah tidak bisa disembuhkan. Perawatan paliatif adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, membahagiakan, dan mendukung keluarga mereka. Fokusnya adalah memastikan orang sakit dapat menjalani kehidupan mereka sebaik yang mereka mau.

Perawatan holistik ini dilakukan dengan beberapa hal yakni penanganan tanda dan gejala, penanganan nyeri, fisik, psikologi, dan sosial.

Hanya saja untuk mereka yang dinyatakan sudah tidak bisa menerima pengobatan penyembuhan maka akan beralih sepenuhnya pada perawatan paliatif. Beralih dari to cure jadi to care.

Dia bercerita selalu menempatkan diri di posisi pasien dan keluarga saat mereka bercerita. Rina harus paham betul masalah mereka untuk bisa mencapai tujuan yakni peningkatan kualitas hidup. Apalagi untuk anak yang sudah dalam kondisi active dying (sekarat).

13 Tahun menjadi perawat di rumah paliatif anak, Rina sudah merasakan berkali-kali kehilangan. Ada yang baru berapa hari menjalani palliative homecare tapi sudah meninggal dunia. Pasien unik seperti anak 9 tahun tadi juga tidak jarang ditemui. Pasien tersebut sudah bertahan dua tahun sejak dinyatakan terminal.

Rina juga kadang memenuhi keinginan terakhir para pasien. Ada yang ingin kembali ke sekolah. Ada juga yang ingin ke taman bermain. Bagi Rina, menyempurnakan keinginan anak-anak itu adalah tujuan hidupnya.

“Ini mungkin yang dinamakan compassionate dan cinta pada dengan pekerjaan,” kata Rina.

Bahagia dan sehat dengan menolong orang lain

Dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun disebut sebagai tindakan altruisme.

Perbuatan ini memicu pelepasan hormon seperti dopamin dan oksitosin. Hormon-hormon tersebut dikenal sebagai hormon baik yang meningkatkan kebahagiaan dan mengurangi rasa sakit.

Semakin tinggi hormon oksitosin dalam tubuh, semakin besar keinginan seseorang untuk menolong orang lain. Selain itu, ketika hormon oksitosin meningkat, ternyata kondisi ini juga meningkatkan hormon membahagiakan lainnya, seperti serotonin, dopamin, dan endorfin.

Hormon ini diproduksi oleh sistem saraf pusat dan kelenjar hipofisis yang bekerja pada reseptor di otak Anda. Maka itu, ketika endorfin dilepas rasa sakit pun berkurang, tetapi meningkatkan rasa senang dan nyaman.

Dalam bukunya Why Kindness good for You, David Hamilton seorang profesor medis asal Inggris mengatakan pada tingkat spiritual, banyak orang merasa bahwa yang ia lakukan karena benar untuk dilakukan. Karenanya perasaan baik tersebut membuat sesuatu yang mendalam di dalam diri kita yang mengatakan “Inilah saya.”

Pada tingkat biokimiawi, diyakini bahwa perasaan baik yang kita dapatkan adalah karena peningkatan level versi alami morfin dan heroin otak, yang kita kenal sebagai opioid endogen. Mereka menyebabkan peningkatan kadar dopamin di otak sehingga menimbulkan rasa bahagia.

Itulah yang mungkin dialami Rina dan para perawat di rumah paliatif anak lainnya yang tak pernah ragu untuk menolong orang lain. Bagaimana dengan Anda?