Sepanjang hidupnya, Didi cilik* hidup dengan HIV dan infeksi paru-paru yang serius, namun berkat dukungan yang tiada henti dari perawat Rina dan tim dari Rachel House, sekarang Didi dapat bernafas dengan lebih mudah sehingga ia bisa fokus kepada PR-nya. Kisah ini ditulis oleh Avril Delgado, seorang relawan yang mendedikasikan beberapa minggu dari liburan musim panasnya di bulan Juli 2019 untuk membantu Rachel House.
Di dalam sebuah gang sempit di tengah padatnya wilayah Jakarta Utara, tinggal seorang anak berumur 11 tahun yang pemalu dan sangat istimewa, bernama Didi. Sekilas, ia terlihat seperti anak-anak lain, terlebih ketika kamu merayunya untuk tersenyum.
Namun jika kamu mendekat, kamu akan melihat betapa postur tubuhnya jauh lebih kecil dibandingkan anak lain sesuainya. Semakin dekat, kamu juga akan melihat sebuah selang plastik menempel di hidung sampai ke belakang telinganya, dan tersambung ke tabung oksigen di sampingnya. Hidup dengan HIV sejak lahir dan memiliki komplikasi TBC, paru-paru Didi berada dalam kondisi yang tidak baik, hingga titik dimana ia kesulitan untuk bernafas tanpa alat bantu dan tabung oksigen.
Menginjakkan kaki di rumah Didi yang sangat sederhana, kamu akan melihat sejumlah tabung oksigen berukuran 1,2 meter berbaris berjajar. Beberapa terisi penuh, beberapa kosong, namun semua tabung tersebut ada untuk memastikan Didi memiliki cukup oksigen untuk bernafas. Kamu juga akan melihat sebuah rak yang berisi obat-obatan, untuk membuat penyakit HIV Didi menjauh dan menangani komplikasi serius lain yang ia alami – termasuk hipertensi paru dan penyakit kardiovaskular.
Didi tinggal di rumah tersebut bersama dengan nenek, kakak serta keluarga pamannya. Kedua orang tua Didi telah meninggal dunia.
Meskipun berada dalam keadaan yang sulit, Didi adalah anak yang murah senyum dan penuh tawa, terutama ketika ia merasa nyaman dengan kamu. Ia juga suka belajar dan bermain game seperti anak-anak seusianya.
“Suster Rina, sini lihat PR aku”
Ketika saya memasuki rumah Didi bersama perawat Rina – salah satu perawat senior di Rachel House – wajah mungil Didi bersinar ceria.
Dengan penuh semangat, ia berteriak “Suster Rina, sini lihat PR aku” . Dengan bangga, Didi menunjukkan PR matematika-nya, sembari bergurau mengenai kemajuan belajarnya. Karena kondisi penyakitnya, Didi tidak dapat bersekolah. Namun ia tetap memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan semangat belajar. Karena itu, perawat Rina memberi Didi PR matematika, sekaligus membantunya belajar membaca dan menulis.
Perawat Rina selalu memastikan Didi merasa nyaman dan santai sebelum pemeriksaan medis dimulai. Sambil tetap berbincang dengan Didi, ia mendengarkan nafas Didi dengan seksama dan memeriksa tanda-tanda vital untuk mengetahui perkembangan kondisi Didi. Adalah sebuah perjuangan yang berat bagi perawat Rina untuk memastikan Didi meminum obatnya secara rutin dan disiplin. Setelah bertahun-tahun, Didi mulai mempertanyakan kenapa ia harus terus minum obat. Jiwa pemberontak di usia menjelang remaja mulai muncul dalam dirinya. Terkadang diperlukan negosiasi yang panjang dan penjelasan yang rinci mengenai pentingnya obat-obatan untuk membuat penyakit Didi menjauh. Cara ini terkadang berhasil. Namun kadang, setelah terjadi infeksi, barulah Didi mau minum obat.
Nenek dan paman Didi bekerja sangat keras untuk memastikan keluarga itu tetap dapat makan dan membayar kontrakan rumah. Nenek memiliki warung jajanan di lingkungan tempat tinggal mereka. Namun jika Didi mengalami infeksi yang serius sehingga harus dirawat inap di rumah sakit, warung tersebut akan tutup dan keluarga tersebut hanya mengandalkan pemasukan seadanya dari paman Didi.
Didi bergantung pada bantuan tabung oksigen untuk bernapas, dan ini tidak ditanggung oleh BPJS, sehingga membuat neneknya sangat khawatir. Bersyukur, Rachel House dapat memperoleh donatur yang bersedia membantu dan memastikan Didi memiliki oksigen yang cukup untuk bernapas, tanpa membuat ekonomi keluarganya menjadi semakin sulit.
Bahu untuk Membantu
Selain gejala fisik, penanganan masalah emosional, sosial dan psikologis terhadap seseorang dengan penyakit yang serius merupakan fokus dari perawatan paliatif. Dalam setiap kunjungan, perawat Rina selalu menyediakan waktu dengan Didi dan neneknya, membicarakan keadaan dan persoalan yang mereka hadapi. Stigma mengenai HIV masih cukup kuat di Indonesia dan perawat Rina merupakan salah satu dari sedikit orang yang dapat diajak bicara secara terbuka oleh nenek Didi, mengenai tantangan dan rasa frustasi yang ia hadapi setiap hari.
Saat saya berkunjung, saya melihat tetesan air mata ketika nenek Didi berbicara dengan perawat Rina mengenai kondisi Didi dan masalah yang dihadapi keluarga mereka. Saat itulah saya menyadari betapa beratnya beban emosional yang dialami oleh keluarga pasien, dan betapa pentingnya dampak layanan Rachel House pada hidup orang-orang ini. Kunjungan perawat Rina, kepeduliannya dan keterbukaannya merupakan penyejuk bukan hanya untuk Didi tetapi juga neneknya, dengan memberikannya tempat untuk mencurahkan kekhawatiran dan ketakutannya, serta menghilangkan rasa frustasinya, walau sesaat.
Ketika kami meninggalkan rumah tersebut, Didi sibuk dengan PR barunya dari perawat Rina; ia merasa nyaman, santai dan bernafas dengan normal. Nenek tampak tersenyum, berterimakasih atas dukungan yang Rachel House berikan kepada mereka. Saya sangat tersentuh menyaksikan itu.
*Nama diubah untuk privasi.
Maukah kamu ikut memberikan secercah kebahagiaan bagi anak-anak yang dirawat oleh Rachel House? Mari berdonasi untuk mendukung pelayanan kami. Klik di sini untuk berdonasi.