Artikel diterbitkan oleh Detik.com
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Anaknya sekarang sudah nggak menderita,” ucap Rina Wahyuni kepada pemilik suara di ujung telepon. Sesaat setelah nada dering masuk, Rina, yang berprofesi sebagai perawat, terpaksa memotong pembicaraan dengan detikX di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Kamis, 8 Agustus 2019. Rupanya pasien yang telah dirawat Rina selama lebih dari dua bulan belakangan ini baru saja mengembuskan napas terakhir.
Padahal baru saja Rina mengungkapkan keinginannya menjenguk anak itu nanti sore. Ternyata Tuhan berkehendak lain. Dia berusaha menguasai emosinya dengan tetap tenang. Lalu kemudian memberikan arahan untuk mencabut selang nasogastric tube (NGT) dan memandikan jenazah sang anak. “Mau anaknya meninggal karena sakit atau nggak, orang yang memandikan harus pakai sarung tangan ya,” ujar Rina kepada penelepon.
Pasien anak yang baru saja meninggal itu dalam kondisi sekarat ketika Rina mulai memberikan perawatan paliatif. Tenaga medis sudah dapat memprediksi, cepat atau lambat anak perempuan ini tidak mampu bertahan. Ketika dirawat di RSCM dari awal Juni, pasien ini tidak sadarkan diri akibat komplikasi gizi buruk dan tubuhnya terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV).“Belakangan, diketahui di otaknya juga ada abses. Karena kondisinya nggak berubah, neneknya yang menemani nekat bawa pulang ke rumah,” kata Rina.
Rina menjadi ‘akrab’ dengan kematian sejak bergabung sebagai perawat paliatif anak di Yayasan Rumah Rachel atau Rachel House. Pasien-pasien anak yang ditangani perempuan berusia 40 tahun ini umumnya merupakan anak-anak berusia hingga 18 tahun dengan penyakit serius yang secara medis tidak mungkin disembuhkan. Kabar duka ibarat sudah jadi makanan sehari-hari bagi Rina .
Ketika didirikan pada 2006, Rachel House didedikasikan untuk memberikan asuhan paliatif kepada anak-anak dengan kondisi yang dapat membatasi kehidupan dan mengancam jiwa mereka. Kehadiran Rachel House membawa harapan agar tidak ada anak yang harus mati dalam kesakitan, tanpa cinta, dan tanpa perawatan. Sampai kini Rachel House telah merawat hampir 800 anak yang mengalami penyakit serius. Selain itu, Rachel House memberikan dukungan psikososial, yang merupakan bagian penting dari perawatan paliatif anak-anak untuk lebih dari 2.200 anggota keluarga.
Selain Rina ada tujuh perawat lainnya yang setiap minggu rutin mengunjungi pasien di daerah Jakarta, Bekasi, Depok, dan Tangerang. Terutama pasien penyakit berat dan kronis, seperti kanker dan HIV. Perawat- perawat ini menangani 45 pasien dengan kondisi berbeda. Menurut riset yang terbit di Journal of Pain and Symptomp Management pada 2 Februari 2017, diperkirakan 700 ribu anak di Indonesia hidup dengan penyakit berat. Dari jumlah tersebut hanya kurang dari 1 persen yang memiliki akses penanganan nyeri atau asuhan paliatif.
Pendiri Rachel House, Lynna Chandra, menyadari banyak pasien penyakit terminal atau yang tak punya harapan sembuh kesulitan mengakses obat untuk mengurangi rasa sakit. Tenaga medis pun belum sepenuhnya paham dalam hal memberikan obat pereda nyeri yang tepat kepada pasien. Kejadian ini disaksikan langsung oleh Lynna saat mengunjungi temannya di rumah sakit. “Ada pasien dengan kanker otak kemudian disuruh pulang dan hanya diresepkan Panadol oleh dokternya,” cerita Rina. Kejadian ini menjadi salah satu pencetus Lynna menggawangi berdirinya Rachel House.
Saat baru mulai berkarya di Rachel House, Rina masih menemukan banyak dokter yang enggan menggunakan morfin sebagai obat pereda nyeri berat. Begitu pula dengan petugas apotek yang sungkan mengabulkan resep pasien dengan morfin. Ada stigma morfin dapat menimbulkan ketergantungan. Lalu kekhawatiran petugas medis bisa dikriminalisasi jika memberi morfin meski sudah ada perlindungan hukum dalam peresepan morfin diberikan kepada para dokter.
“Dulu jujur saja, untuk kanker kita pakai obat morfin. Banyak banget rumah sakit nggak mau pakai itu. Padahal ada lo obat jenis morfin yang bisa dipakai di rumah asal dipantau dan keluarga diedukasi bagaimana pemakaiannya,” tutur Rina, yang pernah menempuh pendidikan di Akademi Keperawatan RS Husada, Jakarta. Semasa berdirinya, Rachel House turut membantu memberikan edukasi kepada tenaga medis dalam hal pemakaian morfin sebagai obat pereda nyeri.
Merawat anak-anak yang sekarat bukan pekerjaan mudah. Sudah lebih dari 11 tahun lamanya Rina melakukan pekerjaan itu dengan sepenuh hati. Setelah lulus dari akademi keperawatan, sebenarnya Rina sempat bekerja selama 10 tahun di Neonatal Intensive Care Unit (NICU), ruangan khusus di rumah sakit ditujukan untuk merawat bayi baru lahir yang memerlukan pengobatan dan perawatan khusus.
Di NICU, Rina merasa belum melakukan tugasnya sebagai perawat dengan maksimal. “Kalau ada anak meninggal, ya sudah, kita tinggal bilang, ‘Ibu, yang sabar, ya’, hanya segitu saja. Sama seperti kalau ada orang tua tanya-tanya terus, kita di bagian perawat suka kesel. Nih orang tua bawel banget sih, padahal dia lagi nggak nyaman, wajar kalau dia panik dan marah,“ cerita Rina.
Kini Rina tak hanya mendampingi pasien dari sisi medis, tapi juga memberi penanganan menyeluruh, mencakup psikososial dan spiritual. Rina juga membantu sang anak mewujudkan keinginan terakhirnya. Walaupun tak semua berjalan mulus. Seperti ketika Rina menangani seorang pasien asal Belitung bernama Bobby, bukan nama sebenarnya, yang digerogoti kanker tenggorokan
Saat Bobby sadar waktunya sudah tidak lama lagi, dia meminta dipulangkan ke kampung halamannya di Belitung. Anak lelaki berusia 14 tahun itu ingin menghembuskan napas terakhir sambil dikelilingi orang-orang yang ia cintai. Sayangnya, tak ada maskapai penerbangan yang bersedia mengangkut. “Keluarga dan dia mau pulang, tapi maskapai nggak mau bawa karena takut meninggal di jalan. Saya juga ada firasat dia nggak akan kuat dalam perjalanan,” kata Rina.
Rina menguatkan hati Bobby dan berjanji akan akan tetap memulangkannya, meskipun artinya sudah dalam kondisi tidak bernyawa. “Suster janji walaupun kamu sudah nggak bernyawa, jenazah kamu tetap pulang. Kita akan cari donatur. Kamu nggak usah pikirin nanti biaya gimana, itu biar Suster yang urus,” ucap Rina menuturkan kalimat yang ia ucapkan kepada Bobby.
Pasien yang ditangani Rachel House memang berasal dari keluarga tidak mampu. Bagi sejumlah pasien, kematian bukan hal yang ditakutkan. Mereka lebih sering khawatir dengan kondisi keluarga karena merasa selama ini sudah menjadi beban bagi orang tua. Meski Bobby tidak sampai pulang ke rumahnya, dia sempat berpamitan melalui video call dengan keluarga di rumah. Tak lama setelah itu, Bobby meninggal dunia.
Setiap kali melihat anak yang dirawatnya harus berpulang, hati Rina ikutan hancur. “Nangis bareng keluarga itu sering banget. Tapi habis itu balik lagi saya mengingatkan diri, di sini di rumah pasien tugas saya untuk support si ibu. Kita sebagai manusia sedih itu wajar, tapi jangan sampai sedih kita melebihi orang tua,” kata Rina.
Tugas Rina tidak berhenti setelah pasien meninggal. Dia juga masih mendampingi keluarga setelah kematian. Duka tidak akan semudah dan secepat itu pudar, namun perawat memastikan keluarga yang ditinggalkan bisa menjalani aktivitas seperti sedia kala. “Dulu pernah ada kasus, setelah ditinggal, ibunya seminggu tidur di kuburan anaknya. Kasus seperti ini sangat jarang terjadi karena biasanya dari jauh hari mental orang tua sudah disiapkan.”
Tak semua pasien asuhan paliatif berakhir dengan kematian. Seperti pasien yang terinfeksi HIV, jika dipantau dan dirawat dengan baik, ada kemungkinan besar si pasien dapat bertahan hidup. Dokter spesialis anak dari Divisi Hematologi Onkologi RSCM, Jakarta, dr Endang Windiastuti, SpA(K), juga sepakat mengenai hal ini.
“Paliatif bukan berarti untuk pasien yang mau meninggal saja. Paliatif goal-nya meningkatkan kualitas hidup. Jadi pada pasien yang kuratif sudah tidak bisa disembuhkan, seperti kanker dan HIV. Beberapa kelainan dari lahir yang tidak mungkin dikoreksi itu juga masuk dalam asuhan paliatif. Seperti kelainan jantung kompleks atau kelainan gagal ginjal yang harus hemodialisis terus,” ujar Endang yang juga pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Maukah kamu ikut memberikan secercah kebahagiaan bagi anak-anak yang dirawat oleh Rachel House? Mari berdonasi untuk mendukung pelayanan kami. Klik di sini untuk berdonasi.