Bagi saya, rasanya sia-sia jika kembali ke Jakarta selama masa liburan kuliah tanpa melakukan apapun selain terjebak macet hanya untuk pergi ke mall atau cafe. Untungnya saya bisa memanfaatkan waktu luang saya untuk menjadi relawan bagi Rachel House, penyedia asuhan paliatif rawat rumah yang pertama di Indonesia bagi anak-anak dengan penyakit serius dan mengancam hidup, seperti kanker dan HIV/AIDS.

Saya menghabiskan waktu saya untuk menemani perawat dari tim Rachel House dalam mengunjungi pasien-pasien kecil di rumah mereka yang tersebar di Jakarta, Bekasi, Depok, dan Tangerang, untuk memberikan tidak hanya perawatan medis bagi anak-anak tersebut yang memiliki penyakit yang serius dan membatasi hidup, namun juga dukungan psikologi, emosional, dan spiritual yang sering terlupakan bagi anak-anak tersebut maupun bagi orang yang merawat mereka.

Menaklukkan Jakarta

Tantangan pertama adalah untuk sampai di rumah pasien. Kami menggunakan jasa transportasi umum seperti bus, ojek motor, taksi, kereta, dan lebih seringnya harus dengan berganti-ganti jenis transportasi. Kadang perlu berjam-jam untuk mencapai rumah pasien, apalagi saat kondisi lalu lintas  macet. Bahkan ketika sudah tiba di lingkungan tempat tinggal pasien pun, sulit sekali untuk mencari rumah pasien tersebut. Banyak di antara mereka yang tinggal di kampung-kampung yang sangat padat, yang tidak ada nama jalan, terlebih lagi koordinat GPS Google Map. Kebanyakan rumah mereka sangat kecil, kadang luasnya tidak lebih dari 5 meter persegi namun harus menampung 5 orang dalam satu keluarga atau bahkan lebih. Rumah-rumah mereka terbuat dari kardus bekas, plastik, seng, atau bahan apapun yang bisa mereka temukan. Rasanya seperti memasuki dunia lain jika dibandingkan dengan mall-mall megah di Jakarta ataupun bangunan universitas di Inggris.

  

Begitu saya masuk ke rumah pasien, saya langsung merasakan betapa kerasnya kehidupan, bukan hanya bagi anak-anak ini yang harus melawan penyakit serius dan mengancam hidup mereka, tapi juga untuk keluarga-keluarga mereka yang hidup dalam kondisi kemiskinan dan terpinggirkan dalam masyarakat. Kadang ketika saya pulang ke rumah setelah selesai kunjungan, saya merasakan kelelahan batin dan rasa tak berdaya melihat begitu tidak adilnya hidup ini. Awalnya saya juga merasa tidak yakin bagaimana saya bisa menjadi berguna sebagai relawan; bagaimana agar saya tidak menjadi beban atau hanya sekedar menjadi penonton saja. Saya berpikir, apa cara terbaik untuk menolong dan bicara dengan anak-anak ini? Tapi dengan semakin banyak waktu yang saya luangkan bersama perawat Rachel House, semakin saya sadar bahwa saya bisa membantu hanya dengan memberikan telinga untuk mendengar cerita mereka, memberikan dukungan semangat atau sekedar bermain-main dengan anak-anak tersebut. Meski saya tidak bisa menyembuhkan penyakit mereka, atau memberikan layanan kesehatan seperti para perawat, namun saya bisa menjadi teman bagi mereka. Itu yang justru sangat dibutuhkan oleh anak-anak ini, karena biasanya penyakit mereka membuat mereka harus terkurung di rumah ataupun mendapatkan stigma sosial dari lingkungan sekitarnya yang membuat mereka sangat susah untuk mendapatkan teman.

Pasien terakhir yang saya kunjungi adalah seorang anak berusia 3 tahun yang manis sekali. Ia mencerahkan hari dan menghangatkan hati saya. Meskipun baru pertama kali bertemu, saya sudah disambut dengan senyuman dan pelukan dari si kecil Ibrahim*. Dia terus-menerus bermain dengan kamera saya dan terpesona dengan kamera dan layarnya. Hasil foto yang diambilnya bagus-bagus. Ada bakat memfoto pada dirinya dan saya berharap seandainya saja kami bisa tinggal lebih lama untuk mengajari dia lebih banyak lagi mengenai fotografi.

Semangat yang besar menghadapi masa sulit

Mengunjungi anak-anak yang terkena HIV dan mendengarkan cerita tentang mereka benar-benar membuka mata saya. Saya tidak tahu bahwa ternyata ada stigma yang begitu besar terhadap penyakit ini dan bagaimana stigma ini merusak masyarakat kita sendiri karena telah memaksa orang-orang yang terkena penyakit ini untuk bersembunyi dan berdiam diri. Sekarang, saya memiliki tujuan untuk melawan stigma tersebut, dengan mengajarkan ke lebih banyak orang lagi di Indonesia, bahwa meskipun HIV belum bisa disembuhkan untuk saat ini, namun HIV adalah penyakit yang bisa dikendalikan dan bukan penyakit yang mudah menular.

Dan lebih dari itu, cara pandang saya terhadap kehidupan berubah setelah disambut masuk ke dalam rumah anak-anak tersebut. Saya takjub dengan kekuatan yang ditunjukkan oleh para anak dengan penyakit serius dan penyakit yang membatasi hidup mereka tersebut. Mereka hampir tidak pernah menyerah pada amarah maupun merasa putus asa pada keadaan. Mereka tidak membiarkan kondisi kesehatan mereka menjadi alasan untuk berhenti menjalani hidup mereka atau setidaknya, menghentikan mereka untuk terus bercita-cita. Saya juga belajar bagaimana cinta kasih, dukungan, dan komunikasi memberikan dampak yang besar, bahkan bagi mereka yang hidup dengan penyakit serius dan mematikan.

Waktu singkat selama tiga minggu yang saya habiskan bersama Rachel House sangatlah menginspirasi dan merendahkan hati saya. Saya bersyukur atas pengalaman yang membuat saya tumbuh dan belajar, dan bersyukur untuk cerita yang telah mereka bagikan. Terlebih lagi saya bersyukur untuk semua canda tawa, peluk hangat, dan kasih yang telah dibagikan oleh anak-anak yang saya temui tersebut.

Cynthia Clara D Law is an Indonesian-British woman currently studying at Bangor University in the United Kingdom.

 

Mau kah Kamu bantu kami mendukung anak-anak yang hidup dengan penyakit serius, serta keluarga mereka, agar mereka bisa hidup terbebas nyeri dan dengan bahagia? Klik di sini untuk berdonasi.