Awalnya dipublikasi oleh www.kumparan.com 
“Suster Rina, aku sebentar lagi meninggal, kan?” kata anak 13 tahun, penderita kanker otot stadium akhir.

Pertanyaan semacam itu kerap diajukan oleh pasien kepada Rina Wahyuni, perawat paliatif anak dari Yayasan Rumah Rachel (Rachel House).

Pertanyaan menyayat hati itu tak seberapa dibandingkan perasaan kehilangan yang ditelan Rina saat pasien ciliknya berpulang ke pangkuan Tuhan.

Suster Rina Wahyuni (Foto: Ridho Robby/kumparan)

Rina bersama Rachel House merawat anak penderita HIV/AIDS dan kanker dengan metode perawatan paliatif. Ini perawatan holistik (menyeluruh) untuk meningkatkan kualitas hidup anak dan orang tua, dengan fokus pada penanganan nyeri, psikososial, dan spiritual.

Setiap hari, Rina berhadapan dengan anak-anak pasien kanker yang umurnya tak lama lagi, atau dengan anak pengidap HIV/AIDS yang obat penyembuhnya belum ditemukan di dunia.

“Rata-rata pasien kanker yang dirujuk ke Rumah Rachel meninggal karena sudah terminal (tak bisa diobati),” kata Rina kepada kumparan di kantor Rachel House, Slipi, Jakarta Barat, Kamis (26/10).

Sedih memang, tapi kekuatan dan ketabahan Rina menjalani profesinya menjadikan dia penolong bagi banyak orang. Ia membantu para pasien dan keluarga mereka melewati masa-masa kritis dengan hati lapang.

Setiap pasien yang ia dampingi, ditemui Rina sepekan sekali guna melakukan pengecekan kesehatan menyeluruh. Tujuannya untuk mendeteksi bila terdapat gangguan kesehatan baru yang timbul, sekaligus memastikan tidak ada rasa nyeri dan luka yang terlampau mengganggu pasien ciliknya.

Rina juga harus memastikan psikis dan kehidupan sosial keluarga si anak tetap baik. Jika pasien ingin sekolah padahal ia sudah lama tak lagi sekolah karena waktunya habis untuk pengobatan, Rachel House akan mencarikan sekolah sekaligus menjelaskan mengenai kondisi si anak kepada pihak sekolah.

“Atau bila ingin belajar tapi tidak mau ke sekolah, kami akan ajak teman dari Rumah Rachel (ke rumahnya) untuk mengajak dia belajar, dan membacakan cerita untuknya,” kata Rina.

Lenah, Ibu Meriel bocah pengidap kanker darah. (Foto: Ridho Robby/kumparan)

Saat si anak bermain bersama relawan, Rina akan berusaha membangun kepercayaan orang tua, terutama ibu pasien, agar bersedia mencurahkan isi hatinya. Rina berusaha menjadi teman setia yang bersedia mendengar keluhan dan kecemasan sang ibu.

Setelah ibu pasien menaruh rasa percaya pada Rina dan mengeluarkan unek-uneknya, Rina akan bicara dari hati ke hati tentang kondisi terkini si anak.

“Kami akan jelaskan kondisi dan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada anaknya apa. Tidak ada kan orang tua yang mau anaknya meninggal, makanya kami kasih edukasi dan support,” lanjut Rina. Memberi dukungan dengan mencurahkan kasih sayang kepada keluarga pasien merupakan hal dasar yang dilakukan dalam perawatan paliatif. Ini bisa membantu menjaga kondisi psikis anak dan orang tuanya.

Kasih sayang itu pula yang membuat kedatangan para perawat paliatif, termasuk Rina, amat dinanti pasien-pasien mereka. F misalnya, seorang pasien yang sangat dekat dengan Rina.

F bersikap terbuka dan senang menceritakan apapun kepada Rina. Menurut F, kunjungan sepekan sekali dari Rina sesungguhnya kurang untuk mencurahkan semua isi hatinya.

Maka untuk mengganti hari-hari tanpa Rina, F menceritakan curahan hatinya dalam sebuah buku harian yang ia buat khusus untuk Rina.

“Suster Rina, nanti ambil aja langsung (diary-nya) di situ, ya. Jangan bilang-bilang Mama,” kata Rina menirukan ucapan F kepadanya.

Dalam diary itu, F membagi perasaan dan harapannya. Ia juga menulis, sudah tahu kalau dia sakit kanker dan tidak bisa disembuhkan.

“Dia bilang, dia enggak takut meninggal. Tapi dia takut, nanti kalau dia meninggal mamanya gimana,” kata Rina.

Waktu itu mamanya sedang hamil anak kedua, dan bapaknya bekerja, berjualan, hingga larut malam.

Membaca curahan hati F, Rina segera mendiskusikannya dengan ibunda F. Hingga akhirnya sang ibunda meneguhkan hati untuk berkata kepada F, “Jangan takut, Mama enggak apa-apa. Nanti kan ada adek, dan kalau kangen kamu, Mama bisa kirim doa.”

Pada kesempatan selanjutnya, F bercerita dalam buku hariannya bahwa yang ia takutkan kali ini (lagi-lagi) bukan kematian, tapi kehidupan setelah kematian. F takut masuk neraka karena tak salat.

Rina cepat tanggap, dan mendatangkan guru agama untuk mengajari F salat dan mengaji. Membimbing agar batinnya tenang.

Lewat diary pula, Rina mengetahui permintaan terakhir F. F memohon kepada Rina untuk mengizinkannya tak meminum obat sesak napas karena efek obat itu membuat dia lebih sering tertidur, padahal ia ingin bermain dengan adiknya yang baru lahir.

“Aku enggak mau tidur terus, Sus. Nanti waktu aku main sama adek akan berkurang. Iya kalau aku hidup sampe besok, kalo enggak aku akan menyesal,” tutur Rina sembari menirukan gaya F.

Setelah permintaan tidak meminum obatnya dikabulkan, F selalu berada di dekat adik kecilnya.

Tulisan-tulisan dalam diary itu membantu Rina untuk bisa mengerti kebutuhan F. Tulisan itu juga menjadi sarana diskusi dan mendekatkan hubungan Rina dengan ibunda F. Mereka sudah seperti keluarga dekat bagi Rina.

Hingga kini, meski F telah tiada, keluarganya masih menjalin hubungan baik dengan Rina. Bahu-membahu merawat F telah mengikatkan hati mereka.

Sembilan tahun sudah Rina bergabung dengan Rachel House. Selama itu pula Rina harus siap setiap waktu untuk kehilangan pasien-pasien ciliknya.

Ia mendampingi mereka menyambut maut dengan senyum, menjadi kawan bagi keluarganya untuk mengantar kepergian dengan ikhlas dan damai.

0 Comments

Leave your comment